02 Juli 2008

Pilih Salafy atau Muslim, Mukmin, Muttaqin ??




Assalamu ‘alaikum wr. wb,
Saya ingin meletakkan hal ini secara objektif, agar kita tidak fanatik dan taqlid kepada siapapun juga. Pertama, kalau kita semuanya mau jujur bahwa perintah menjadi SALAFY itu tidak ada yang jelas, semuanya hanya berupa indikasi dan penafsiran yang sifatnya ijtihadiyah (atau maaf seperti dipaksakan).

Contohnya, At-Taubah ayat 100, itu bukan perintah untuk menjadi SALAFY tapi perintah untuk mengikuti Rasulullah dan Sahabat (muhajirin dan anshor). Kalau hal itu perintah menjadi SALAFY tentunya ayatnya akan dinyatakan secara tegas dan jelas semisal “Isyhaduu biannaa muslimuun” (Saksikanlah kami adalah muslim).
Tapi kita kan nggak pernah menemukan perintah “SAKSIKANLAH BAHWA KAMI SALAFY”.
Atau perintah “ITTAQULLAHA HAQQA TUQAATIHI” (Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa). Adakah perintah yang setegas itu untuk untuk bermanhaj SALAFY, misalnya berbunyi “BERTAKWALAH KEPADA ALLAH dan BERMANHAJ SALAFLAH KALIAN”.
Lalu dilanjutkan WA LAA TAMUUTUNNA ILLAA WA ANTUM MUSLIMUUN (perintah ini kan sangat tegas jelas tidak perlu penafsiran lagi yaitu bahwa Allah menyuruh kita menjadi MUSLIM).
Belum lagi banyak sekali akhir ayat yang secara tegas menyatakan WA NAHNU LAHU MUSLIMUN (Dan kami adalah orang-orang Islam).
Adakah dalam Alqur’an yang menyatakan WA NAHNU LAHU SALAFIYUUN….? Atau dalam HADITS. Inilah yang saya maksud sebaiknya kita kembali kepada perintah yang JELAS dan TEGAS.
Kedua, surat Ali Imran ayat 110, ini adalah perintah untuk beramar ma’ruf nahi munkar dan beriman kepada Allah SWT. Bukan perintah untuk bermanhaj SALAF.
Ketiga, berkaitan dengan hadits-hadits yang mengindikasikan SALAF, contohnya “Sebaik-baik manusia adalah kurunku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka…”
Hadits ini khabar atau perintah. Kalau kabar maka hadits ini adalah pujian kepada generasi terbaik. Hadits ini jelas-jelas berupa kabar. Sebab jika kita kaitkan dengan ayat lainnya maka yang paling mulia adalah yang paling taqwa (INNA AKRAMAKUM ‘INDALLAHI ATQAAKUM). Mereka tidak dibatasi ZAMAN dan WAKTU.
Contohnya IMAM MAHDI meskipun lahir di akhir zaman. Beliau adalah orang yang sangat bertaqwa.
Kalau setiap khabar dijadikan dalil untuk membuat sebuah MANHAJ. Maka kita akan temukan banyak sekali MANHAJ. (Ini tidak masalah, selama hal ini tidak dipaksakan kepada orang lain). Atau dijadikan tanda/simbol merekalah satu-satunya kelompok yang selamat/yang ditolong (FIRQATUN NAJIYAH/THAIFAH MANSHURAH).
Contohnya dalam Alqur’an banyak sekali kita temukan khabar tentang para Nabi dan Rasul. Lalu kemudian kita buat namanya MANHAJ RUSULI (Pengikut 25 Nabi dan Rasul).
Dalam Alqur’an dan hadits banyak kita temukan pujian terhadap SAHABAT, lalu kita buat MANHAJ ASHABI. Atau banyak juga pujian terhadap JIBRIL lalu kita bentuk MANHAJ JIBRILI dst.
Keempat, pernyataan Syaikh Albani Rahimahullah, kenapa kita butuh simbol ini, alasannya karena banyaknya aliran sesat pada zaman ini? (Silahkan baca buku Biografi Syaikh Albani)
Pertanyaannya adalah apakah pada zaman FITNATUL KUBRA (Ali RA VS Muawiyah RA) tidak banyak aliran sesat? Lalu masa-masa setelahnya apakah juga tidak banyak aliran sesat?
Lalu kenapa para IMAM dan SALAFUS SHALIH pada saat itu tidak memproklamirkan MANHAJ SALAFY. Justru yang disepakati adalah AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH (ini menjadi sumber hukum karena IJMA’/kesepakatan). Karena kesepakatan adalah (salah satu) sumber hukum Islam. Sedangkan MANHAJ SALAF belum pernah menjadi IJMA’.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, BAGAIMANA JIKA KEMUDIAN ORANG-ORANG MENGAKU ber-MANHAJ SALAF itu kemudian rusak lagi dan berpecah belah, terbukti saat ini SALAFY telah terbelah menjadi berbagai kelompok ADA SALAFY JIHADI, SALAFY ILMI, SALAFY HARAKI, SALAFY YAMANI, Ada SALAFY-nya SYAIKH ABDUR RAHMAN ABDUL KHALIQ, SALAFY-nya LUQMAN BAABDUH, SALAFY-nya USAMAH, SALAFY SYAIKH SAFAR, SALAFY-nya SYAIKH ALBANI, SALAFY-nya SYAIKH AL QARNI, SALAFY-nya SYAIKh MUQBIL, SALAFY-nya SYAIKH RABI’ Rahimahumullah dll.
Apakah kemudian kita membuat SIMBOL Baru lagi? Misalnya QADIMI?
Sekali lagi mari kita kembali kepada penisbatan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya yaitu menjadi MUSLIM/MUKMIN/MUTTAQIIN.
Mohon maaf, bila ada kata-kata yang kurang berkenan.
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Label:

11 Komentar:

Blogger hamba Allah mengatakan...

Assalamualaikum

Tak mau menyebut diri sebagai salafy tak jadi soal asal metoda dalam memahami islam adalah bermanhaj salaf yaitu mengambil islam, memahami dan mengamalkannya seperti mereka generasi salaf yaitu sahabat, tabiin, tabiut tabiin.

Jika tak mengambil atau tak bermanhaj salaf maka pasti akan tersesat,,,KARENA yang paling paham islam adalah mereka ,, Bagaimana kita menafsirkan Quran dan Hadis jika tak melalui mereka?? Wong Quran dan hadis turun pada Rasul dan lalu Rasul mengajarkannya pada mereka sehinnga mereka paham

Setiap orang yang ingin bertaqwa dengan benar maka lihatlah dan contohlah Rasul dan sahabatnya bertaqwa. Siapa lagi yang paling benar dalam memahami dan mempraktekkan islam lebih benar dari mereka ???Makanya kita harus mencontoh mereka kalau kita ingin bertaqwa seperti mereka

Argumen anda sungguh tidak kuat,,dan mencari cari ,semoga ini karena ANDA BELUM PAHAM AJA
Sepanjang yang saya tau dari pengajian bermanhaj salaf,,,saya tak pernah disuruh oleh ustad untuk menyebut diri sebagai salafy,,,ini sebagai hal yang memudahkan saja dan lebih praktis karena begitu banyaknya aliran sesat saat ini

Coba anda sebutkan apakah ada ulama yang memerintahkan atau istilah anda memaksakan seorang muslim menyebut dirinya salafy?? Yang mereka perintahkan adalah apa yang diperintahkan Allah yaitu mengikuti jalan orang orang mukmin ketika itu,, ya itulah mereka sahabat sahabat nabi

Kalau anda sebut salafy berpecah belah,,itu bukan pokok soal tentang manhaj salaf,,orang perorang bisa salah bahkan orang yang bermanhaj salaf juga bisa bermaksiat pada Allah . Persoalannya bukanlah apa yang ditampilkan oleh orang perorang tapi yang kita bicarakan adalah bagaimana cara agar kita menjadi seorang muslim, mukmin dan muttaqien yang benar sesuai maksud Allah .

Caranya ya ikutlah pemahaman Rasul dan sahabatnya,ikutlah pengamalan rasul dan sahabatnya, ikutlah cara jihad yang di contohkan rasul dan sahabatnya, ikutlah cara dakwah rasul dan sahabatnya sehingga tidak tersesat dan menyimpang

Anda koq suka nasyid,,,bukankah musik itu haram berdasarkan hadis Buchori??

Judul yang anda buat pun aneh,,,karena untuk menjadi muslim, mukmin dan muttaqien harus mengacu pada salaf(sahabat, tabiin, tabiut tabiin) karena Rasul mengabarkan bahwa mereka adalah generasi terbaik...lalu tidak inginkah anda mencontoh genarasi terbaik ???

Memang tak ada perintah agar kita menjadi salafy...tapi bermanhaj salaf adalah wajib sesuai ayat ayat Al Quran dan hadis yang telah anda sebutkan di tulisan anda
Maaf

Hamba Allah

Rabu, 02 Juli, 2008  
Anonymous Ahmad mengatakan...

Bismillaah...
Abu Ghozi ini ada sedikit dari hasil tanya jawab yang dinukilkan dari murid seorang 'Ulama Mujaddid pada abad ini, semoga bermanfaat...

Oleh Al-‘Allamah Salim bin ‘Id al-Hilali hafizhohullah
Penerjemah Arief Budiman, Lc. hafizhohullah

Pertanyaan:
Ada yang mengatakan bahwa sesungguhnya as Salafiyun adalah orang-orang yang sering dan senang berpecah-belah, seperti yang terjadi di Yaman, atau Arab Saudi, atau negara lainnya. Apa pendapat Syaikh tentang hal ini?

Jawaban:
Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali berkata:
Di antara nama-nama ad Da’wah as Salafiyah adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sehingga as Sunnah menyeru kepada persatuan, sedangkan bid’ah menyeru kepada perpecahan. Jadi, as Salafiyun mengundang dan mengajak (yang lainnya) kepada persatuan, kesatuan, dan kebersamaan.
Lalu, jika sampai terjadi perselisihan, perpecahan atau pengelompokan-pengelompokan di sebagian negara-negara, maka sesungguhnya hal ini terjadi karena beberapa sebab, di antaranya; lemahnya pemahaman dan adanya cacat dalam memahami manhaj.

Karena, lemah atau cacat dalam memahami manhaj ini, dapat menyebabkan terjadinya perpecahan. Seandainya mereka memahami manhaj ini dengan pemahaman yang baik dan benar sebagaimana yang digariskan Islam, diterangkan Rasulullah, dan dijelaskan oleh para ulama, tentu mereka tidak akan berpacah-belah. Karena hubungan para ulama salaf dengan sesama lainnya hubungan yang saling memperkuat dan menyempurnakan. Karena negara-negara ini semakin meluas dan banyak. Sementara orang-orang yang berijtihad dari kalangan ulama, mereka saling tolong menolong antar sesama mereka dalam kaidah mempertahankan persatuan dan tidak saling berselisih.

Seandainya pun para Hizbiyin mampu menyusup ke tengah-tegah barisan as Salafiyun dan mampu memecah-belah sebagian as Salafiyun, maka kita tidak perlu merasa heran!

Sungguh seorang Yahudi dahulu kala yang bernama Abdullah bin Saba’ -semoga Allah memeranginya- telah mampu memecah belah para Sahabat, hingga akhirnya mereka saling berperang dan saling menumpahkan darah dengan sebab usahanya berupa perusakan, pemecah-belahan, penyebaran syubuhat dan keragu-raguan di tengah-tengah para Sahabat.

Berarti, adanya perpecahan atau perselisihan antara sesama as Salafiyun yang kini terjadi di sebagian negara-nagara, hal ini bukan dengan sebab ad Da’wah as Salafiyah!

Ad Da’wah as Salafiyah yang benar mengajak manusia kepada persatuan, kesatuan, persahabatan, saling tolong-menolong, dan saling membela antara yang satu dengan yang lainnya. (Seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berikut)
((…المُؤْمِنُوْنَ تَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ، وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ، وَيَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ...)).
“…Orang-orang beriman sama darah mereka (dalam qishash atau diyat), mereka kuat dan saling bersatu (tolong menolong) dalam menghadapi musuh-musuh mereka, dan orang yang terendah dari mereka dapat memberikan perlindungan kepada yang lainnya…”. [1]

Oleh karena itu, jika terjadi kekeliruan dari sebagian as Salafiyun di sebagian negara, hal ini tidak berarti -sama sekali- bahwa kesalahan ada pada ad Da’wah as Salafiyah. Bahkan ad Da’wah as Salafiyah berlepas diri dari kesalahan para as Salafiyun!

As Salafiyun adalah manusia. Mereka bisa benar dan bisa keliru! Maka, tidak boleh kita membawa kesalahan dan kekeliruan sebagian As Salafiyun kepada ad Da’wah as Salafiyah.
sumber : www.salafiyunpad.wordpress.com

Kamis, 02 Juli, 2009  
Anonymous Ahmad mengatakan...

lanjutannya...

Sebagian ulama -yang pernah berkunjung ke Eropa- ada yang ditanya, “Kalian berkata bahwa Islam adalah agama yang adil, baik dan indah. Tapi mengapa kami tidak melihat hal tersebut dalam kehidupan orang-orang Muslim?! Bahkan sifat mereka adalah…”.

Lalu ia menjawab dengan sebuah jawaban yang bagus, “Jika seorang hakim salah dalam menghukumi dan mengambil sebuah keputusan, maka apa sesungguhnya kesalahan undang-undang?”. Jadi, kesalahan dan kekeliruan adalah dari si hakim yang menggunakan dan mempraktekkan undang-undang, dan bukan kesalahan undang-undang tersebut!

Lagipula, kesalahan yang kini terjadi adalah kesalahan yang dilakukan oleh sebagian as Salafiyun saja, dan bukan kesalahan mereka seluruhnya! Ini satu sisi!

Sisi lainnya, apakah perpecahan ini hanya terjadi pada as Salafiyun saja?! Ataukah hal ini merupakan sebuah penyakit yang telah melanda seluruh golongan-golongan, partai-partai, dan gerakan-gerakan?!
Bahkan tidaklah terbentuk sebuah partai, melainkan lama-kelamaan dalam waktu yang dekat saja -setahun atau dua tahun- akhirnya melahirkan partai-partai baru lainnya! Sebagiannya melaknat sebagian yang lain! Saling mengkafirkan! Saling berseteru! Dan seterusnya.

Sekali lagi, fenomena sosial semacam ini, sebabnya adalah cacat dan kurangnya mereka dalam memahami dan mendalami manhaj dan Islam ini!

(( Tanya jawab pada kajian umum bersama Masyayikh Yordania
11 Februari 2007 di JAKARTA ISLAMIC CENTER (JIC). Jazahullah khoiron kepada Ust. Arief yang telah memberikan artikelnya kepada admin))

Catatan kaki penerjemah:

[1] HR Abu Dawud (4/180 no. 4530), an Nasa-i (8/19, 20, 24 no. 4734, 4735, 4745), dan lain-lain, dari Hadits Ali bin Abi Thalib z. Hadits semakna juga diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr dan Ma’qil bin Yasar radhiallahu ‘anhum.

Sumber :www.salafiyunpad.wordpress.com

Kamis, 02 Juli, 2009  
Anonymous Ahmad mengatakan...

Baca juga artikel Al-Muhaddits Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany rahimahullaah...

"Mengapa Kita Harus Memakai Nama Salafy?"
Penulis: Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani Rahimahullah.
Mengapa kita memakai nama Salafy ? apakah penamaan itu bukan termasuk ajakan kepada hizbiyah atau thaifiyah (seruan untuk berfanatik kepada kelompok tertentu) ataukah merupakan kelompok baru dalam Islam? Sesungguhnya istilah Salaf sudah dikenal dalam bahasa Arab maupun dalam syariat Islam. Namun yang kita utamakan disini adalah pembahasan nama tersebut dari segi syariat.
Dalam hadits yang shahih disebutkan bahwa ketika Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam ditimpa penyakit yang menyebabkan kematiannya, beliau berkata kepada Fathimah Radhiallahu anha: "Bertakwalah kepada Allah (wahai Fathimah) dan bersabarlah. Dan aku adalah sebaik-baik salaf (pendahulu) bagimu."

Dan para ulama pun sangat sering menggunakan istilah salaf sehingga terlalu banyak untuk dihitung. Dan cukuplah salah satu contoh yang biasa mereka gunakan sebagai hujjah untuk memerangi bid'ah: 'Segala kebaikan adalah dengan mengikuti jejak Salaf. Dan segala kejelekan ada pada bid'ahnya kaum khalaf '. Tetapi ada sebagian orang yang mengaku ulama (ahlul ilmi) menolak penisbatan (penyandaran) diri kepada Salafi ini. Mereka menganggap penisbatan ini tidak ada asalnya sama sekali! Menurut mereka, seorang muslim tidak boleh mengucapkan : "Saya pengikut para Salafus Shalih dalam segala apa yang ada pada mereka baik dalam beraqidah, ibadah maupun berakhlak."

Tidak diragukan lagi bahwa pengingkaran seperti ini, kalau memang demikian yang mereka maksudkan, menunjukkan adanya tindakan untuk melepaskan diri dari pemahaman Islam yang shahih (benar) sebagaimana yang dipahami dan dijalani oleh salafus shalih dan pemimpin mereka Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam.
Seperti tersebut dalam hadits mutawatir yang terdapat dalam shahihain (Bukhari-Muslim) dan lain-lain bahwa Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para Shahabatku), kemudian yang sesudahnya (Tabi'in), kemudian yang sesudahnya (Tabi'ut Tabi'in)".

Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh melepaskan diri dari penisbatan kepada Salafus Shalih. Sebab tidak mungkin para ulama akan menisbatkan istilah salaf kepada kekafiran maupun kefasikan. Sementara orang-orang yang menolak penamaan itu sendiri, apakah mereka tidak menisbatkan dirinya kepada salah satu madzhab yang ada? Baik madzhab yang berhubungan dengan aqidah maupun fiqih? Mereka ini kadang-kadang ada yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Asy'ariyah atau Maturudiyah.
Ada pula yang menisbatkan dirinya kepada para ahlul hadits seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, atau Hambaliyah yang (kelima madzhab yang terakhir ini) masih termasuk dalam lingkup Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Padahal orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Asy'ariyah atau madzhab imam yang empat (al-Aimmah al-Arba'ah) tidak diragukan lagi bahwa mereka itu menisbatkan diri kepada person atau orang-orang yang tidak ma'shum (terpelihara dari kesalahan), meskipun diantara mereka terdapat ulama yang benar.

Kamis, 02 Juli, 2009  
Anonymous Ahmad mengatakan...

Lanjutannya...

Alangkah lebih baik kalau sekiranya mereka mengingkari penisbatan kepada orang-orang yang tidak ma'shum tersebut. Adapun orang yang menisbatkan diri kepada salafus shalih, sesungguhnya dia telah menisbatkan dirinya kepada yang ma'shum (yakni Ijma' para shahabat secara umum). Nabi salallahu 'alaihi wa sallam telah menyebutkan ciri-ciri Al-Firqah An-Najiyah (golongan yang selamat), yaitu mereka yang senantiasa berpegang kepada sunnah Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah para Shahabatnya Ridhwanullah 'alaihim 'ajma'in.
Barangsiapa berpegang teguh kepada sunnah mereka, maka dia pasti akan mendapat petunjuk dari Rabbnya. Penisbatan kepada salaf ini akan memuliakan orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada mereka dan akan menuntunnya dalam menempuh jalan Al-Firqah An-Najiyah. Sedangkan orang yang menisbatkan dirinya kepada selain mereka, tidaklah demikian keadaannya. Karena dalam hal ini dia hanya mempunyai dua alternatif.
Pertama, boleh jadi dia menisbatkan diri kepada seseorang yang tidak ma'shum.
Kedua, dia menisbatkan dirinya kepada orang-orang yang mengikuti madzab tersebut yang tentu saja tidak ada kema'shuman sama sekali.


Sebaliknya para shahabat Nabi salallahu 'alaihi wa sallam secara keseluruhan merupakan orang-orang yang terpelihara dari kesalahan. Dan kita telah diperintahkan untuk berpegang teguh kepada sunnahnya salallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah para shahabatnya. Hendaklah kita senantiasa konsisten terhadap pemahaman Al-Qur'an dan As-Sunnah sesuai dengan manhaj (metode pemahaman) para shahabat. Agar kita tetap berada di dalam "al-'ishmah" (terlindung dari kesesatan) dan tidak menyimpang dari manhaj mereka, dengan memakai pemahaman sendiri yang sama sekali tidak didukung oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Kemudian, mengapa tidak cukup bagi kita dengan hanya menisbatkan diri kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah saja, tanpa pemahaman Salafus Shalih? Maka dalam hal ini ada dua sebab :
Pertama, sebab yang berhubungan dengan nash-nash syar'iah.
Kedua, sebab yang berhubungan dengan kenyataan yang ada pada kelompok-kelompok Islam.
Penjelasan :
1. Yang berhubungan dengan sebab pertama :
Kita temukan dalam nash-nash syar'iah, perintah untuk mentaati segala sesuatu yang disandarkan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah sebagaimana firman Allah Ta'ala :
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya serta ulil amri (ulama dan umara) di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah hal itu kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (As-Sunnah), bila kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (An-Nisa:59).
Seandainya ada seorang Waliyul Amri (pemimpin kaum muslimin) yang telah dibaiat oleh kaum muslimin maka kita wajib taat kepadanya, sebagaimana kita wajib taat kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Meskipun dia dan para pengikutnya kadang-kadang berbuat salah. Kita wajib taat kepadanya untuk mencegah kerusakan yang ditimbulkan karena perselisihan tersebut, tetapi ketaatan itu harus dengan syarat yang sudah dikenal, yaitu:
"Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Allah." (HR Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah, hadits no.197).
Dan Allah Azza wa Jalla juga berfirman : "Barang siapa menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti selain jalannya Sabilil Mukminin (para shahabat), maka kami biarkan dia tenggelam dalam kesesatan (berpalingnya dia dari kebenaran) dan kami masukkan ke neraka Jahannam. Dan itu merupakan seburuk-buruk tempat kembali." (An-Nisa':115).

Kamis, 02 Juli, 2009  
Anonymous Ahmad mengatakan...

Lanjutannya...

Sungguh, Allah Azza wa Jalla adalah Dzat yang Maha Tinggi sehingga tidak mungkin Dia berkata tanpa faedah dan hikmah. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa penyebutan Sabilul Mukminin (jalannya orang-orang mukmin) dalam ayat ini mempunyai hikmah dan faedah yang sangat tinggi.
Penyebutan ini menunjukkan bahwa di sana ada suatu kewajiban yang sangat penting, yaitu : ittiba' kita terhadap Al-Qur'an dan As-Sunnah harus sesuai dengan manhaj yang dipahami dan dijalankan oleh generasi awal kaum muslimin, para shahabat ridhwanullah alaihim kemudian generasi berikutnya (para tabi'in), kemudian generasi berikutnya (tabi'ut tabi'in). Dan seruan inilah yang senantiasa dikumandangkan oleh Da'wah Salafiyah sekaligus menjadi rujukan utama mereka, baik dalam asas dakwah maupun dalam manhaj tarbiyah.
Sesungguhnya dakwah Salafiyah pada hakekatnya hendak menyatukan umat Islam, sedangkan dakwah-dakwah yang lain justru sebaliknya memecah-belah umat. Allah Ta'ala berfirman : "Dan hendaklah kamu bersama-sama orang yang benar." (At-Taubah:119).
Maka barang siapa yang ingin memisahkan Al-Kitab dan As-Sunnah di satu sisi dan para Salafus Shalih di sisi lain, dengan memahami dan mengamalkan Al-Qur'an dan As-Sunnah tidak sesuai dengan pemahaman mereka, maka selamanya dia tidak akan menjadi orang yang shadiq (benar).




2. Yang berhubungan dengan sebab kedua.
Kelompok-kelompok dan partai yang ada pada zaman ini tidak mau beralih secara total kepada Sabilul Mukminin yang tersebut pada ayat di atas, yang hal ini diperkuat oleh beberapa hadits. Antara lain hadits "Iftiraqul Ummah" (perpecahan umat) menjadi 73 firqah (golongan), semuanya masuk neraka kecuali satu golongan yang ciri-ciri mereka telah disebutkan oleh Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam : "Golongan itu ialah yang mengikuti sunnahku dan sunnah para shahabatku hari ini." (lihat : Silsilah Al-Hadits Ash-Shohihah, Syaikh Al-Albani no 203 & 1192).
Hadits ini serupa dengan ayat di atas (QS. An-Nisa: 115), dimana keduanya menyebutkan Sabilul Mukminin. Kemudian dalam hadits lain dari Irbadh bin Sariyah, Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku" (lihat: Irwa'ul Ghalil,Al-Albani no 2455).
Berdasarkan keterangan di atas, maka di sana ada sunnah yang harus kita pegang teguh yaitu sunnah Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu, kita wajib kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah serta Sabilul Mukminin (jalannya para shahabat). Tidak boleh kita mengatakan: "Kami memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman sendiri, tanpa memandang sedikitpun pada pemahaman Salafus Sholih."

Kamis, 02 Juli, 2009  
Anonymous Ahmad mengatakan...

Lanjutannya (terakhir)...

Pada zaman sekarang ini, kita harus melakukan bara' (pemisahan diri) yang betul-betul bisa membedakan diri kita dengan golongan sesat lainnya. Tidak cukup bagi kita hanya dengan mengucapkan: "saya muslim" atau "madzhabku Islam", sebab golongan-golongan yang sesatpun menyatakan demikian. Seperti kaum Syiah Rafidhah, Ibadhiyyah, Qadiyaniyyiah (Ahmadiyah) maupun golongan-golongan sesat lainnya. Sehingga apa bedanya kita dengan golongan sesat tersebut?
Bila kita mengatakan : "Saya seorang muslim yang mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah." Ucapan ini masih belum cukup karena kelompok-kelompok (sesat) seperti Asy'ariyah, Maturudiyah, dan kaum Hizbiyah, mereka juga mengaku mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa penamaan yang jelas dan gamblang serta dapat membedakan antara golongan yang selamat dengan golongan yang sesat ialah dengan mengatakan : "Saya seorang muslim yang mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah sesuai dengan manhaj Salafus Shalih" atau lebih singkatnya: "Saya Salafi!"
Oleh sebab itu, sesungguhnya kebenaran yang tidak bisa disangsikan lagi ialah : tidak cukup kita hanya bersandar dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah tanpa tuntunan dari manhaj Salafus Shalih, baik dalam pemahaman dan pola pikir, dalam ilmu dan amal, maupun dalam dakwah dan jihad.
Kita semua mengetahui bahwa mereka semua (para Salafus Shalih ridhwanullah alaihim ajma'in) tidak fantaik terhadap satu madzhab atau kepada individu tertentu. Sehingga kita tidak pernah menemukan di antara mereka ada yang bersikap fanatik tergadap Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, ataupun Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhum.
Bahkan sebaliknya seorang diantara mereka jika memungkinkan untuk bertanya kepada Abu Bakar atau Umar atau Abu Hurairah, maka mereka akan bertanya kepadanya (tanpa memilih-milih). Semua itu mereka lakukan karena mereka meyakini bahwa tidak boleh seseorang memurnikan ittiba'nya kecuali kepada seorang yaitu Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam. Sebab beliau salallahu 'alaihi wa sallam tidaklah berkata menurut hawa nafsunya, melainkan hanyalah berdasarkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.
Kalaupun kita bisa menerima bantahan orang-orang yang mengkritik pemahaman salafi, sehingga kita cukup hanya menamakan diri dengan istilah muslim saja, tanpa menisbatkan diri kepada Salafus Shalih meskipun penisbatan tersebut merupakan penisbatan yang mulia dan shahih. Lantas apakah dengan demikian orang-orang yang mengkiritik itu bersedia melepaskan diri dari penamaan terhadap kelompok-kelompok, madzhab-madzhab, thariqat-thariqat mereka meskipun penisbatan itu semua tidak syar'i dan tidak shahih?
"Cukuplah bagimu perbedaan diantara kita ini. Dan setiap bejana akan memancarkan air yang ada di dalamnya." Allahlah yang memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Dan Dialah tempat meminta pertolongan.
(Edisi Perdana Salafy/Syaban/1416/1995, Rubrik Mabhats, hal 8-10).

Semoga bermanfaat untuk Abu Ghozi...

Salam kenal dari ana Ahmad di Pekanbaru-Riau

Wallaahu Ta'aala a'lam...

Kamis, 02 Juli, 2009  
Anonymous Ahmad mengatakan...

Bismillaah...

Abu...Allah dan Rasul-Nya mengharamkan musik dan nyanyian, tapi mengapa Abu kok hobby dengerin Nasyid?
Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Al-Albany, Syaikh Ibnu 'Utsaimin, Syaikh Rabi' Al-Madkhali, Syaikh 'Abdurrozzaq Al-Badr, dll banyak sekali adalah para 'Ulama yang menyatakan bahwa musik adalah harom...

Wallaahul Musta'an...

Kamis, 02 Juli, 2009  
Anonymous Ahmad mengatakan...

Abu Ghozi...
Jangan asal bicara lidah ini kepada para 'Ulama Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa jihad di afghanistan, palestine, adalah fardhu kifayah.
Krn jihad trsbt akan mncapai hkm fardhu 'ain ktk misalnya sbuah negara diserang oleh kaum Yahudi La'natullaah, maka jihad melawan mrk hukumnya fardhu 'ain bagi mrk yang tinggal di negara yg diserang tersebut, tp fardhu kifayah bagi org-org di luar negara trsbt, namun apbl ulil amri (pemimpin) kita memerintahkan kita sbagai warganya utk membela negara yg diserang trsbt, maka hkm jihad bg kita pd waktu itu adlh berubah dari fardhu kifayah mjd fardhu 'ain.
Dan dari yang ana pernah baca dari fatwa para 'Ulama Ahlus Sunnah, mrk memerintahkan bagi rakyat palestine untuk hijrah dari negaranya, krn posisi mrk (Islam) di sana secara umum lemah, terhina, dll. Maka dr itu para 'Ulama memfatwakan utk sgera hijrah ke negri yg aman utk kembali mengumpulkan kekuatan melawan musuh-musuh Allah, sbagaimana hijrahnya Rasulullah dr mekkah ke madinah, karena lemahnya ummat Islam pada waktu itu, dan Rasulullah pun meninggalkan kiblatnya kaum muslimin (ka'bah), padahal beliau sangat berat utk meninggalkannya.
Dan pr 'Ulama berpesan, adapun masjidil Al-Aqsho biarlah Allah yang menjaganya, Allah yang memeliharanya dari tangan-tangan jahat kaum yahudi la'natullaah, karena tiada yang tidak mungkin bagi Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu...

"Allah tidak akan menghinakan suatu kaum melainkan dgn sebab perbuatan maksiat (Syirik, bid'ah, dll) yg dilakukan kaum tersebut kpd-Nya"

Wallaahu a'lam...

Kamis, 02 Juli, 2009  
Anonymous Anonim mengatakan...

Idea shaking, I support.

Kamis, 16 September, 2010  
Anonymous Anonim mengatakan...

I apologise, but, in my opinion, you commit an error. Let's discuss it.

Rabu, 13 Oktober, 2010  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda