26 Juli 2008

DEMOCRAZY

Oleh : Pane Fakhri

Kebaikan hati adalah ketidakmampuan untuk tetap tenteram jika ada orang lain merasa gelisah; ketidakmampuan untuk tetap merasa nyaman jika ada orang merasa tidak nyaman; ketidakmampuan untuk tetap berperasaan enak apabila seorang tetangga sedang gundah.
(Samuel H. Holdenson)


Di saat para ”demokrat” dan ”pengusaha demokrasi” tengah hiruk pikuk bermandi uang, banyak orang merasa kalah dan menyingkir dari dunia. Dalam tempo empat bulan saja, di sebuah wilayah sudah 28 orang bunuh diri karena miskin.

“Demokrasi itu mahal Bung. Untuk pemilihan internal saja, Obama sudah habis Rp 2 triliun,” kilah Rizal Mallarangeng, bos Fox Indonesia yang me-manage iklan pencitraan diri Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir (SB).

Hmm, Amerika memang pujaan para darling-nya. “I love The United States, with all its faults. I consider it my second country, ” ikrar Pak SBY sebelum menjadi Presiden RI, seperti dikutip The International Herald Tribune.

Tak usah heran bila harga BBM kita ”harus” mirip Amerika punya. Misalnya, di AS bensin harganya 3,2 USD per gallon atau Rp 8.000/liter. Di Indonesia, harga Pertamax Rp 10.000/liter. Bensin sementara ini memang masih Rp 6000/liter. Tapi, nantinya bakal disamakan dengan harga dunia, sehingga para buruh kita di SPBU-SPBU asing itu tidak lagi banyak nganggur seperti sekarang ini. Tunggu saja tanggal mainnya.

Yang kita agak kurang tahu diri, Indonesia tekor jauh bila harus mengejar Amerika. Sebab, contohnya, GNP Indonesia cuma 1.110 USD/kapita dibanding AS yang mencapai 37.870 USD/kapita.

Garis kemiskinan di Indonesia hanya Rp 166.697 per kapita per bulan (0,58 USD/hari). Atau untuk keluarga dengan 2 orang anak sekitar 850 USD/ tahun. Sedangkan di AS 20.444 USD.

Dengan garis kemiskinan yang sangat rendah itu, jumlah penduduk Indonesia yang dikategorikan miskin ”cuma” 37 juta. Jika mengikuti garis kemiskinan mutlak versi Bank Dunia US$ 1 per hari, jumlahnya sekitar 63 juta lebih. Malah mencapai 126 juta jiwa atau sekitar separo penduduk keseluruhan bila memakai garis kemiskinan moderat Bank Dunia US$ 2 per hari.

Di AS, upah minimum rata-rata (UMR) besarnya 5,85 USD per jam atau 982 USD/bulan (Rp 9,2 juta). Sementara UMR di Jakarta hanya sekitar Rp 900.560/bulan, dan di Yogyakarta cuma Rp 500 ribu/bulan.

Begitupun, seperti di-helah Rizal tadi, demokrasi kita tak mau kalah dari Amerika. Lihat saja biaya Pilgub Jabar, menghabiskan lebih dari Rp 500 miliar. Ketua Harian Panitia Anggaran DPRD I Jabar, HMQ Iswara, memperkirakan biaya politik tiap pasangan cagub-cawagub mencapai Rp 60 miliar (Pikiran Rakyat, 1/4).

Untuk pesta demokrasi 2008-2009, KPU (Komisi Pemilihan Umum) menganggarkan biaya Rp 47,9 triliun. Berasal dari APBN Rp 22,3 triliun dan dari APBD Rp 25, 6 triliun.

Menurut Associate Media Director Hotline Advertising, Zainul Muhtadin, untuk Pemilu 2009 biaya iklan kampanye tiap calon minimal Rp 100 miliar (tempointeraktif.com 24/01/08).

Lalu berapa ratus miliar duit yang digelontorkan SB lewat Fox untuk mejeng ratusan kali sehari di televisi dan radio pada jam utama, juga di media cetak, media luar ruang, hingga bioskop kelas atas?

“Biar tak pusing sendiri, Anda sebaiknya tak usah tanya berapa uang yang saya keluarkan. Toh, Anda tak akan mampu menghitung,” ujar Soetrisno kepada kader PAN. “Kalau banyak orang kesulitan mencari uang, alhamdulillah, saya diberi kesempatan untuk terus mencari celah mengeluarkan uang,” ucap pengusaha ini (Jawapos, 26/5). Tahun lalu, Presiden SBY pernah mengeluhkan ongkos demokrasi Indonesia yang kelewat mahal. Lebih mahal dibanding anggaran mengentaskan orang miskin.

Presiden mengungkapkan, biaya mengentaskan kemiskinan mencapai Rp 57 triliun pada 2007. Naik dari Rp 17 triliun pada 2004, Rp 24 triliun pada 2005, dan Rp 41 triliun pada 2006.

“Apa iya pemilihan umum legislatif dan pilpres sampai puluhan triliun rupiah, masya Allah, kok mahal bener,” kata Presiden, saat membekali peserta Program Pendidikan Regular Angkatan ke-40 Lembaga Ketahanan Nasional, di Istana Negara (6/12/07).

Tak pelak, korupsi pejabat marak sebagai akibat perjudian politik yang mereka lakukan untuk mengejar jabatan. Apa tidak memalukan, bila banyak pejabat dan mantan pejabat pusat maupun daerah menjadi pesakitan korupsi. Bahkan kamar kerja anggota dewan yang terhormat pun sampai digeledah segala rupa.

Di saat para ”demokrat” dan ”pengusaha demokrasi” tengah hiruk pikuk bermandi uang, banyak orang merasa kalah dan menyingkir dari dunia. Kepala Kepolisian Wilayah (Kapolwil) Banyumas, Kombes Pol Boy Salamudin, misalnya, terperanjat dengan banyaknya kasus bunuh diri di wilayah kerjanya. Bayangkan saja, hanya dalam tempo empat bulan, Januari-April 2008, sudah 28 orang bunuh diri. Padahal, sepanjang tahun 2007 terjadi ”hanya” 59 kasus bunuh diri.

”Semua kasus bunuh diri yang terjadi di jajaran Polwil Banyumas, ternyata karena kemiskinan. Kita harus berbuat sesuatu untuk menghentikannya,” ujar Kapolwil.

Benar kata pepatah: Al faqr huwa al maut al akbar. Kefakiran adalah kematian besar. Bahkan seperti diingatkan Nabi SAW: Kaadza al faqr an yakuna kufra. Kefakiran tak jauh dari kekufuran.

Karena itu, pemimpin yang bertanggungjawab seperti para Khalifah, memilih menjadi orang yang pertama lapar dan terakhir kenyang. Pertama miskin, terakhir cukup. Mereka adalah negarawan, bukan pembunuh rakyat.

Khalifah Abu Bakar misalnya, hanya bersedia menerima gaji dan fasilitas jabatan yang pas-pasan saja. Kalaulah tidak dilarang karena bakal menimbulkan konflik kepentingan dan fitnah, ia lebih suka berdagang sendiri untuk menafkahi keluarganya. Ketika mendapati istrinya masih sempat menabung dari sisa uang belanja, Abu Bakar terkejut. Ia langsung meminta pengurangan gaji.

Menjelang wafat, beliau berpesan kepada Abdurrahman putranya, ”Aku sudah bilang kepada Umar kalau aku tidak mau makan harta kaum muslimin. Tapi dia memaksaku memberi gaji dari Baitul Maal selama aku menjadi khalifah. Aku telah menerima gaji 8000 dirham selama memerintah, tolong kembalikan semuanya ke Baitul Maal.”

Setelah Abu Bakar wafat, Abdurrahman menyampaikan wasiat ayahnya kepada Khalifah Umar. Ia menyerahkan ke kas negara uang sebesar 8000 dirham berikut fasilitas yang pernah diterima Khalifah Abu Bakar berupa seorang budak, seekor unta, dan sebuah permadani usang. Maka menangislah Khalifah Umar seraya berkata, ”Semoga Allah memberkati Abu Bakar. Sungguh, ia telah mempersulit para khalifah penggantinya.”

Umar bin Khattab pun sama saja. Ketika harga sembako naik, anggota dewan syura seperti Ali bin Abi Tahlib, Usman bin Affan, Thalhah, dan Zubair, berunding. Mereka sepakat, Khalifah Umar selayaknya mendapat gaji yang lebih sesuai dengan biaya hidup. Istilah sekarang mah: Cola (cost of living adjusment).

Tapi ketika Hafsah menyampaikan keputusan Majelis Syura itu, Umar bin Kahttab justru marah besar. ”Siapa yang mengajarimu ngomong begini? Demi Allah, kalau aku tahu siapa yang menyuruhmu, niscaya akan kuhajar dia,” hardik Umar pada putrinya.

Khalifah Umar memberi teladan elok, sehingga pada masanya sejumlah gubernur membersihkan kekayaan mereka dengan menyerahkan setengah hartanya ke Baitul Maal. Mereka adalah Gubernur Amr bin Ash (Mesir), Nu’man bin Adiy (Meisan), Nafi bin Amar (Mekah), Sa’ad bin Abi Waqqash (Kufah), Ya’laa bin Munabbih (Yaman), dan Gubernur Khalid bin Walid (Syam). Apa boleh buat, kita lebih suka berkiblat ke Amerika ketimbang ke Abu Bakar atau Umar bin Khattab.

1 Komentar:

Anonymous Anonim mengatakan...

check fKNLXFyJ [URL=http://www.ugg--outlet-online.blogspot.com/]australian ugg boots[/URL] for more detail leRTFvZM [URL=http://www.ugg--outlet-online.blogspot.com/ ] http://www.ugg--outlet-online.blogspot.com/ [/URL]

Senin, 18 Maret, 2013  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda