27 Mei 2008

Taubatnya seorang Salafy Yamani

Ternyata benar apa yang diwasiatkan oleh Rasulullah terhadap umatnya. Renungilah apa yang akan Anda baca berikut ini, dalil dan kisah taubatnya seorang Salafi Yamani:

Firman Allah Ta’ala: ”Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (Az-Zukhruf: 67)

Dari Abu Musa Al-Asy’ari ra., ia berkata: Nabi saw bersabda: ”Sesungguhnya perumpamaan orang yang bergaul dengan orang saleh dan orang jahat, seperti orang yang bergaul dngan orang yang membawa minyak kasturi dan orang yang meniup api. Orang yang membawa minyak kasturi, mungkin memberi minyak kepadamu atau membeli minyak padanya, paling tidak kamu mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan orang yang meniup api, mungkin ia akan membakar kainmu atau kamu akan mendapatkan bau yang tidak enak darinya.” (HR. Bukharu dan Muslim)

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Sesungguhnya Nabi saw bersabda: ”Seseorang bisa terpengaruh oleh agama sahabat karibnya. Oleh sebab itu, perhatikanlah salah seorang di antara kamu dengan siapa ia bergaul.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Berikut adalah pengakuan jujur seorang penyusun buku ”Hakikat IM” yang ditulis oleh Gaza, Jum’at, 1 Juni 2007 yang saya ambil dari http://www.mail-archive.com/manhaj-salaf@yahoogroups.com/msg00346.html


Assalamu’alaikum warohmatullahi wa barokatuh,

Saudaraku, di bawah ini saya tampilkan pernyataan Akhi Anwar Shiddiq, dia pernah menyusun buku judulnya ”Hakikat Ikhwanul Muslimin (IM)”, tetapi setelah berjalan waktu dia menyesal dan ingin menarik buku itu. Akhi Anwar nitip supaya bisa memakai forum MyQuran buat menampilkan surat terbuka. Beliau tak melayani debat di forum, tapi mau terima e-mail ke [EMAIL PROTECTED]

Berikut ini pernyataan Akhi Anwar Shiddiq:

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT, atas limpahan nikmat dan karunia-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad saw, keluarganya dan para sahabatnya. Amma ba’du.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an: ”Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran: 135).

Ikhwan fillah rahimahullah, semoga allah SWT senantiasa merahmatimu, menganugerahkan ilmu bermanfaat, menunjuki dengan hidayah, menguatkan dengan taufiq untuk berbuat kebaikan amal, lahir dan batin. Amin ya Rabbal ’alamin.

Melalui forum yang mulia ini perkenankan ana (Anwar Shiddiq) menyampaikan sebuat pengalaman penting yang ana alami sendir saat berinteraksi dengan ikhwan-ikhwan Salafi yang akhir-akhir ini sering disebut Salafi Yamani (meminjam istilah Ustadz tertentu). Maksud dari penuturan ini yakni agar ana bisa memohon maaf atas kesalahan yang pernah ana lakukan saat ana mendapat pengaruh yang sangat kuat dari pemikiran Salafi Yamani itu. Secara khusus permohonan maaf ini ana tujukan kepada saudara-saudaraku dari Ikhwanul Muslimin (IM) di Indonesia, khususnya yang sudah membaca buku yang ana susun.

Di bawah ini penuturan ana:

”Ana dulu beramal jama’i bersama Jamaah Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin/IM) selama bertahun-tahun. Suatu saat ana putuskan mundur dari IM secara baik-baik, yakni maksudnya ana mundur karena kesadaran sendiri, tidak dipaksa-paksa atau diprovokasi. Ana sudah bertekad, meskipun tidak lagi bersama Tarbiyah (IM) ana akan tetap menjalin hubungan baik dengan mereka. Hal ini ana tempuh, sebab ana tahu Ustadz Jakfar Talib, seorang pemimpin Salafi di Indonesia, tadinya dia ikut IM juga, tapi setelah jadi Salafi, dia sangat membenci IM setengah mati. Ana tidak mau seperti itu, ana mau jadi diri sendiri, tidak terpengarus orang lain. Ana merasakan sendiri di IM itu tidak sedikit kekurangan-kekurangan, tapi ana juga tidak pungkiri di sana ada kebaikan-kebaikannya, maka itu ana ingin sikap proporsional saja, tidak berlebih-lebihan seperti sikap Ustadz Jakfar Talib itu.

Sayang seribu sayang, sikap baik ana ini pelan-pelan berubah saat ana mulai mengambil pemikiran-pemikiran dari Salafi Yamani. Ana membaca majalah Asy-Syariah, ana mendengar kaset ceramah Ustadz Muhammad Sewed, ana bergaul dengan mantan Laskar Jihad (LJ), ana mengikuti berita-berita seputar dakwah Salafi, ana berteman dengan pengikut Salafi Yamani, ana membuka situs www.salafy.or.id, dan apa-apa yang bisa ana peroleh.

Sikap ana yang dulunya baik ke temen-temen IM berubah jadi kebencian dan rasa muak. Ana seperti orang yang mengalami ”Cuci Otak”, pendirian santun ana dulu saat baru keluar dari IM seperti tidak berbekas. Ana dulunya benci sama sikap keras Ustadz Jakfar Talib, tapi ana akhirnya ikut terseret juga ke sikap semacam itu.

Bila dilukiskan, majlis-majlis ilmu yang berhubungan dengan Salafi Yamani itu seperti kobaran api. Siapa saja yang ada di dekatnya akan merasa kepanasan, atau menularkan panas ke orang lain. Ana merasakan pengaruh ini ke diri ana sendiri, yang tadinya baik-baik saja jadi timbul kebencian ke orang lain.

Selama interaksi dengan pengikut Salafi Yamani, yang dibicarakannya tahdzir ahli bid’ah, hajr, firqah sesat, bantahan, celaan, dsb. Apalagi kalau mereka sudah angkat bicara soal Sururiyah atau kesesatan tokoh-tokoh IM, panas sekali suasana yang terbentuk. Orang yang semacam ana ini tidak sedikit di tempat-tempat lain.

Kebencian ana ke IM semakin besar saat seprang ikhwan Salafi itu menyodorkan sebuah buku berjudul ”AL IKHWAN AL MUSLIMUN, Anugerah Allah yang Terzalimi”. Buku ini karangan Ustadz Farid Nu’man, penerbitnya Pustaka Nauka dari Kukusan Depok. Sebetulnya buku ini diberikan atas rekomendasi aktivis PKS juga, biar orang-orang Salafi mau membacanya, termasuk ana di dalamnya. Sehabih membaca buku itu ana malah semakin tidak simpati ke IM. Selain memberi rekomendasi, aktivis PKS itu juga melontarkan kritikan-kritikan tidak sedap ke Salafi, sehingga semakin bulat hari ana untuk menyusun sebuah bantahan.

Ana kumpulkan saja buku-buku, tulisan-tulisan yang mengupas penyimpangan IM, lalu ana ambil materi dari sana-sini (istilahnya ’menjahit materi’). Ana tambahkan disitu komentar-komentar ana, sampai jadilah sebuah buku berjudul, ”Hakikat Ikhwanul Muslimin (IM)”. Selanjutnya buku itu diedarkan secara terbatas di bawh UISP (milik kami sendir). Sudah tentu aktivis PKS yang mengkritik kami itu, kami sodori buku itu juga. Jujur saja, kalau tidak diprovokasi oleh sikap aktivis itu mungkin buku tersebut tidak pernah disusun.

Sesudah waktu berjalan cukup lama, sesudah ana baca-baca buku, tulisan-tulisan, ana diskusi-diskusi, akhirnya ana putuskan untuk membersihkan diri dari pemikiran-pemikiran ”Salafi ekstrem” yang telah bercokol dipikiran ana. Ana tidak mau ketempatan sesuatu yang bisa merusak diri sndiri. Kalau ingat keadaan seperti ini rasanya ana ingin kembali ke situasi dulu saat baru keluar dari IM secara baik-baik. Dulu ana bisa tersenyum saat bertemu teman-teman IM, tapi sekarag ini sulit. Ana sepertinya sudah terjerumus ke sebuah permusuhan keras. Saat ana baca kembali buku ’jahitan’ itu, ana sedih bukan main. Kenapa ana sampai menulis kalimat-kalimat kasar, emosional, menzhalimi saudara sendiri? Padahal tekad ana semula tidak begini. Ya Rabbi, ana memohon ampunan kepada-Mu atas kesalahan-kesalahan ana. Hamba-Mu ini dhaif, sedangkan Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Ampuni ana Rabbi. Amin. Sekian penuturan dari ana.

Selanjutnya melalui forum yang mulia ini ana ingin menyatakan:

Satu, ana bertaubat kepada Allah Yang Maha Pengampun atas kesalahan-kesalahan ana dengan menyusun buku ”Hakikat Ikhwanul Muslimin (IM)”.

Dua, Ana memohon maaf kepada seluruh jajaran Jamaah Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin) di Indonesia, baik pengurus, anggota, atau simpatisannya, atas tersebarnya buku ”Hakikat Ikhwanul Muslimin (IM)” di atas, terutama atas kalimat-kalimat tidak adil yang termuat di dalamnya.

Tiga, secara terbuka ana cabut buku tersebut di atas, sebab resiko mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya. Ana menyatakan buku itu tidak sah lagi dan tidak boleh diedarkan atas nama siapa pun.

Empat, ana tetap mengakui adanya kelebihan dan kekurangan pada diri setiap muslim atau kelompok Islam. Namun hendaknya kita bersikap proporsional, yakni tidak memutlakkan kebaikan atasnya dan juga tidak memutlakkan keburukan baginya. Setiap muslim memiliki kelebihan-kekurangan tertentu. Kita harus bersikap adil sebab Allah mencintai orang orang-orang yang adil. (QS. AL-Maidah: 42, Al-Hujurat :9, A Mumtahanah.

Lima, ana nasehatkan kepada ikhwan-akhwat yang sedang belajar ilmu-ilmu keislaman agar berhati-hati dari sikap ekstrem (berlebih-lebihan) dalam segala wujudnya. Kalau diperngaruh-pengaruhi agar bersikap ekstrem, tinggalkan saja sebab doktrin semacam itu akibatnya cuma kerugian saja. Ingatlah selalu sabda Nabi saw dalam haditsnya, ”Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidak akan pernah seseorang menyulit-nyulitkan perkara agama ini, melainkan ia akan dikalahkan.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah ra). Sekian pernyataan ana.


Pernyataan di atas ana sampaikan apa adanya, secara ikhlas, tidak ada paksaan atau tekanan. Buat sahabat-sahabat yang mendapatkan manfaat dari pernyataan ini, mohon doa antum semua agar Allah selalu membimbing ana (dan antum smua) buat menetapi jalan yang diridhai-Nya. Amin ya Rabbal ’alamin. Buat ikhwan-akhwat yang keberatan, tidak setuju, atau kecewa atas pernyataan ini, silakan antum mengirim ke [EMAIL PROTECTED] This e-mail address is being protected from spam bots, you need JavaScript enabled to view it Ana akan usahakan menjawab surat-surat antum, yakni surat-surat yang layak dijawab. Siapa saja yang mau beri masukan, kritik, atau kecaman (mungkin), silakan juga menulis ke e-mail di atas.

Akhirnya ana berdoa kepada Allah, ”Ya Rabbana, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raaf:23).

Ya Rabbi, ana memohon ampunan dan rakhmat dari-Mu. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarganya, para shahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti sunnahnya akhir jaman. Aminya Rabbal ’alamin.

MyQuran, 5 Agustus 2006

Al faqir ila Rabbi

Anwar Shiddiq

Sumber:http://www.mail-archive.com/manhaj-salaf@yahoogroups.com/msg00346.html

Subhanallah, sebuah studi kasus yang wajib kita jadikan ibrah. Article ini bukan dimaksudkan untuk menjauhkan umat dari dakwah Salafi, tapi hanyalah sebuah warning buat kita semua untuk menjauhi siapapun tanpa terkecuali, apakah mereka seorang yang bermanhaj Salafi, IM, JT, HT, NU, Muhammadiyah whatever you say. Manhaj adalah sarana dan kita tidak berhak menilai seluruh dari jamaah manhaj tertentu memiliki karakter yang sama hanya dengan melihat satu figur tertentu yang berbuat salah. Selama apa yang mereka lakukan tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah dan membumi dengan fitrah manusia tentunya, maka wajiblah untuk kita perhatikan dengan arif dan bijak. Contohnya Salafi, ada yang Yamani, ada yang haroki, ada yang salafi Ihya’ ut Thuratsnya Abdurahman Abdul Khalik, ada salafi al-Sofwah dan al-Haramainnya Muhammad Khalaf dan Yazid Jawwas, ada salafi Muhammad Umar as-Sewed dan lain-lain. Pasti diantara mereka ada salafi yang paling salaf as-Shaleh. Begitu juga dengan salafinya kang Anto dan Abu Salma, entah mereka masuk yang mana. Apakah mimpi dapat bermajlis dengan kelompok yang sungguh-sungguh salaf as-Shaleh itu bisa menjadi kenyataan? Amin ya Rabb…

Yup! Article ini juga mengingatkan saya dengan sahabat tercinta saya Abu Qatadah Al-Depoki (baca latar belakang dengan judul Kronologis di blog saya ini), dia juga berubah menjadi seseorang yang berkarakter terbalik (negatif) dengan karakternya saat dia masih di IM. Tapi alhamdulillah, kini dia telah kembali dengan karakter positifnya, I don’t know, apakah dia masih bermanhaj Salafi dan mendapatkan salafi yang salaf as-shaleh? atau telah kembali bermanhaj IM? atau justru tidak bermanhaj sama sekali? I don’t care about it. Apa yang dia baca? Apa yang dia fikirkan? Kisah apa yang terjadi dengannya? I don’t care! I don’t care! I don’t care! Yang saya perdulikan adalah dia tetap menjadi dirinya yang berkarakter positif, tawadhu dan selalu berinstrospeksi diri untuk menjadi muslim teladan. Dan kita pun harus berusaha seperti itu.

Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: ”Allah tidak mengutus seorang Nabi dan khalifah yang menggantikannya, melainkan ada dua orang yang sangat dekat dengannya, yang satu menganjurkan agar selalu berbuat baik, dan yang lain menganjurkan untuk selalu berbuat kejahatan. Dan orang yang maksum adalah yang dijaga oleh Allah.” (HR. Bukhari)

Diriwayatkan oleh Aisyah ra bahwasanya Rasulullah bersabda: ”Wahai Aisyah! Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut, Dia suka akan kelembutan. Allah akan memberikan balasan dari kelembutan yang tidak diberikan ke atas sikap keras dan kasar serta selainnya” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmizi, Ahmad)

Untuk akhi Anwar Shiddiq, saya ingin bisa berdiskusi dengan anda dan mengambil hikmah kebaikan yang terjadi atas kisah anda. Tapi sayang, e-mailnya tidak dapat ditembus, mungkin sudah expire karena sudah terlalu lama atau mungkin terkena spam oleh orang-orang yang tidak ridha ini terjadi, yang pasti saya perduli dengan apa yang terjadi dengan anda sekarang, agar bisa dijadikan pelajaran oleh kita semua. Dugaan saya, mungkin anda telah mendapatkan Salafi yang bermanhaj Salaf as-Shaleh bukan Salaf as-’SALAH’.

Label:

24 Mei 2008

Harga Mahal Negara Islam

Perjuangan dan jasa tak selamanya berbalas budi. Perjuangan umat menuntut syariat, menuai khianat.

Negara Islam Indonesia (NII), dari namanya terbayang sudah apa yang dipikirkan oleh orang-orang di balik gerakan ini. Sebuah negara dengan syariat Islam sebagai landasan hukum, berdaulat dan berusaha mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Diproklamirkan oleh Sekarmadji mardjan Kartosoewirjo, pejuang kemerdekaan melawan penjajahan.

Titik awal berdirinya NII adalah sebuah cita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara berdasarkan hukum Islam yang pada tahun 1945 telah ditelikung oleh kelompok Nasionalis Sekuler. Pada awalnya adalah sebuah perdebatan antara Soekarno dan Kartosoewirjo, dua orang yang pernah berguru pada satu cucuran ilmu, Haji Omar Said Tjokroaminoto. Soekarno pernah nyantri pada tokoh pendiri Sarekat Islam ini, bahkan pernah menjadi anak mantunya. Sedangkan Kartosoewirjo pernah menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto.

Tapi apa boleh buat, iman ternyata tidak dapat diwariskan. Soekarno menolak dasar negara Islam yang setia diusung oleh kartosoewirjo. Sebaliknya, Kartosoewirjo tak pernah surut langkah mengajukan Islam sebagai dasar negara. Maka perseteruan itu berujung pada proklamasi yang dikumandangkan oleh Kartosoewirjo.

Proklamasi NII tersebut dibacakan empat tahun setelah proklamasi Indonesia. Sebuah babak awal dari perlawanan atas pengkhianatan yang bertubi-tubi diterima. Terbukti, NII adalah gerakan “pemberontakan” terlama yang pernah dialami Indonesia.

Gerakan ini tergolong gerakan perlawanan terluas dan paling rapi yang pernah ada di Indonesia. Beberapa tokoh perjuangan yang pernah dikecewakan segera menjadi bahan bakar baru dalam perkembangan NII. Kahar Muzakkar, yang keinginannya membentuk Resimen Hasanuddin ditolak mentah-mentah. Padahal kiprah lasykar yang dipimpinnya tak terukur besarnya untuk perjuangan di Sulawesi Selatan.

Begitu juga dengan Daud Beureueh yang berkali-kali dikecewakan Soekarno. Syariat Islam yang diidam-idamkan dan sejak awal diperjuangkan, dikhianati dengan keji. Bahkan lebih dari itu, Aceh pun dilebur menjadi bagian dari Sumatera Utara. Walhasil, kekecewaan yang tak tertanggung atas pengkhianatan yang terjadi, membuat gubernur pertama Daerah Istimewa Aceh ini menggabungkan diri menegakkan Negara Islam Indonesia di Sumatera. Begitu juga yang terjadi pada Lentan Satu Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan. Kekecewaan yang berulang-ulang telah membuatnya meleburkan diri dalam perjuangan NII.

Kartosoewirjo memimpin NII selama 13 tahun, sejak tahun 1949 sampai 1962. Pada tahun 1955, ia mengangkat Daud Beureueh sebagai Wakil Presiden dan memasukkan beberapa lagi nama pejuang Aceh dalam kabinet yang disusunnya. Di Aceh sendiri Daud Beureueh memimpin selama sembilan tahun. Selama itu berbagai gejolak dialaminya, termasuk bujukan dari bawahannya untuk melakukan perundingan dengan pemerintah Indonesia. Namun Abu Jihad, demikian Daud Beureueh biasa dipanggil, menolak turun gunung untuk berunding. Ia memilih mengakhiri usianya di atas gunung. Di Sulawesi Selatan sendiri, Abdul Kahar Muzakkar memimpin gerakan selama 13 tahun, sebelum akhirnya peluru panas mengantarnya menemui sang khalik.

Sepanjang periode itu, Soekarno menghadapi para pejuang DI, yang notabene adalah teman-temannya seperjuangan dulu dengan kekuatan senjata. Begitu juga dengan pemerintahan Orde Baru, pemberangusan dilakukan tak tanggung-tanggung. Berbagai fitnah bahkan muncul di masa pemerintahan Orde Baru. Beberapa operasi intelijen dirancang dan mengatasnamakan NII.

Tapi sungguh, gerakan memperjuangkan hakikat kebenaran memang tak pernah sepi dari aral. Tapi juga tak pernah sepi dari para pejuang yang mengharap ridha Allah. Kartosoewirjo dan Ibnu Hajar memang telah dijatuhi hukuman mati. Kahar Muzakkar pun telah pula diekskusi dan Daud Beureueh telah lama tutup mata. Namun perjuangan menegakkan syariat dan meretas jalan menuju kebaikan, selalu menawarkan undangan dan peminat tak pernah sepi untuk datang. Tidak selalu dalam bentuk yang sama. Tapi selalu punya tujuan yang satu. Menuju ridha-Nya.

SM. Kartosoewirjo : Perlawanan dari Malangbong

Sejarah yang dicipta oleh Orde Lama dan Orde Baru telah ber-hasil menciptakan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo sebagai pemberontak di negeri ini. Sejarah yang ditulis bisa dibilang cukup sukses membangun karakter Kartosoewirjo sebagai duri dalam daging pada tubuh Indonesia.

Siapa Kartosoewirjo sebenarnya? Jauh sebelum ia ditahbis kan sebagai seorang pemberontak, Kar-tosoewirjo adalah tokoh yang mau tidak mau harus kita sebut sebagai the founding father negara Indonesia. Herbert Marcuse, menyebut Kartosoewirjo sebagai seorang manusia yang tidak satu dimensi (one dimensional man). Kehidupan dan perjuangannya penuh perjalanan misterius, bahkan lebih misterius dibanding Tan Malaka.

Kartosoewirjo tidak seperti sosok Soekarno atau Hatta, yang lebih banyak bergelut dengan masalah-masalah teori dan pemikiran. Ia adalah seorang konseptor, tapi juga seorang praktisi. Dia tak hanya menggali pemikiran, tapi juga mengangkat senjata pergi berperang. Satu paduan yang jarang ditemui dalam diri pejuang kemerdekaan. Kartosoewirjo adalah sosok dengan kompleksitas yang tinggi.
Ia bergerilya berbelas tahun melawan penjajah Belanda, Jepang, bahkan pemerintahan Orde Lama. Berpindah dari satu hutan ke hutan lain, sambil terus menyiapkan konstruksi sebuah negara.

Lahir di Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1907. Dalam tubuhnya memang mengalir darah perlawanan yang tak gampang dipadamkan. Silsilahnya, konon Kartosoewirjo adalah keturunan kesekian dari Aryo Jipang, cucu Raden Patah, sang penakluk Majapahit. Pamannya, Marko Kartodikromo tercatat sebagai seorang tokoh komunis yang dibuang Belanda ke Boven Digul karena perlawanannya.

Dari silsilah itu ia mewarisi jiwa revolusioner yang tak pernah kekurangan bahan bakar. Menginjak dewasa, ia belajar dan menggali Islam dari tokoh-tokoh pergerakan seperti Tjokroaminoto, H. Agus Salim dan Ajengan Ardiwisastra, seorang ulama yang tinggal di Malangbong, Garut. Namun sejak kecil ia telah mengaji pada seorang ulama di tempatnya tinggal. Namun bisa disimpulkan, Kartosoewirjo mengalami pematangan dalam pemikirannya ketika ia bersentuhan dengan gagasan Jamaluddin al-Afghani yang membawa bendera Pan Islamisme.

Memasuki usianya yang ke-20, ia telah menjadi seorang jurnalis di surat kabar Fadjar Asia. Pada periode ini pula ia bersentuhan dengan Soekarno yang sama-sama nyantri pada Tjokroaminoto. Dalam buah pikiran yang ia tulis untuk Fadjar Asia telah tergambar sikap radikal Kartosoewirjo yang menentang priyayi dan melawan Belanda.

Pada masa penjajahan, khususnya ketika Jepang berkuasa, ia lebih memilih perang bergerilya ketimbang mengambil jalan kooperasi. Dikumpulkannya para pemuda dalam sebuah gerakan yang bernama Lembaga Ahli Suffah. Dilatihnya para pemuda itu dengan keterampilan militer di hutan Malangbong, Garut. Kartosoewirjo adalah seorang yang tak pernah setengah-setengah dalam perjuangannya.

Ihwal perlawanan frontalnya melawan pemerintahan Soekarno, sungguh bukan masalah interes pribadi atau keinginan berkuasa. Tapi bermula dari pengkhianatan-pengkhianatan yang bertubi-tubi ia terima. Pengkhianatan paling besar yang ia rasakan adalah penelikungan yang menghasilkan dicoretnya tujuh kata di Piagam Jakarta dihapuskan. Dalam sidang yang berlangsung alot yang ia ikuti pada bulan Juni 1945, Kartosoewirjo dan beberapa tokoh lain mengawal terus gagasan menjadikan negara ini berlandaskan hukum Islam. Namun hanya sehari piagam yang menyatakan dan menjamin pemberlakuan syariat Islam itu berjalan. Sehari kemudian ia harus menerima kenyataan pahit, sebuah pengkhianatan atas perjuangan.

Kekecewaan kedua yang ia alami adalah instruksi Soekarno sebagai panglima tertinggi pada tahun 1948, yang memerintahkan memindahkan ibukota perjuangan dari Jakarta ke Jogjakarta sebagai hasil Perjanjian Renville. Salah satu konsekuensi dari instruksi ini adalah memindahkan pula semua kekuatan TNI, termasuk Divisi Siliwangi ke Jogjakarta. Sikap ini menurut Kartosoewirjo adalah bentuk rasa takluk pada Belanda. Bahkan yang lebih ironis lagi, penarikan seluruh kekuatan TNI berarti membiarkan daerah lain, termasuk Jawa Barat, menjadi daerah tanpa perlindugan dari negara.

Setelah perjuangan dan pengorbanan para pejuang, keputusan Soekarno ini sungguh lebih terasa sebagai pengkhianatan daripada penyelamatan. Kartosoewirjo dengan lasykar DI/TII tampil ke muka mengamankan dan menjaga Jawa Barat. Dari sinilah lahir sebuah hubungan erat antara rakyat Jawa Barat dan para pejuang DI.

Di saat Jawa Barat seolah diserahkan mentah-mentah pada penjajah atas Perjanjian Renville, Kartosoewirjo, sekali lagi tampil untuk melakukan perlawanan. Karenanya, sangat bisa dipahami jika Kartosoewirjo dalam satu kesempatan mengatakan, “Mulai sekarang, tidak ada lagi hubungan dengan RI.”

Tokoh pejuang ini mengakhiri hidupnya di depan algojo regu tembak yang dikirim oleh negara. Eksekusi itu sekali lagi membuktikan, bahwa perjuangan selalu tak pernah mudah.

Daud Beureueh : Membangun Negara di Atas Gunung

“Wallah, billah, daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai syari’at Islam. Akan saya pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan syari’at Islam. Apakah Kakak masih ragu?”

Kata-kata di atas diucapkan oleh Soekarno sambil terisak di bahu seseorang yang ia panggil Kakak. Sang kakak, tidak lain adalah Daud Beureueh. Akhirnya, berbekal iba dan isak tangis, Soekarno berhasil meluluhkan hati sang Abu Jihad, demikian panggilan Daud Beureueh.

Soekarno mengucapkan janjinya untuk meyakinkan Daud Beureueh, bahwa jika Aceh bersedia membantu perjuangan kemerdekaan, syari’at Islam akan diterapkan di tanah Rencong ini. Maka urung niat Daud Beureu’eh meminta perjanjian hitam di atas putih.

Tapi ternyata janji tinggal janji, penerapan syariat Islam di Aceh pun tinggal mimpi. Air mata yang diteteskan Soekarno ternyata hanya pelengkap sandiwara.

Siapakah Daud Beureueh? Ia adalah cikal bakal semua gerakan kemederkaan Aceh. Lahir 17 September 1899, dengan nama asli Muhammad Daud di sebuah dusun kecil bernama Beureu’eh di Aceh Pidie. Nama dusun itulah yang kelak yang lebih dikenal sebagai namanya. la bukan dari kalangan bangsawan Aceh yang bergelar Teuku, ia seorang rakyat biasanya saja. Gelar Tengku di depan namanya menandakan ia termasuk salah seorang yang diperhitungkan sebagai ulama di masyarakat sekitarnya. Selain Abu Jihad, orang-orang di sekitarnya biasa memangilnya dengan sebutan Abu Daud atau Abu Beureueh.

Pada zamannya, Daud Beureueh dikenal sebagai seorang ulama yang tegas dan keras pendiriannya. la tak segan-segan menjatuhkan vonis haram atau kafir bagi setiap orang yang telah melanggar aturan agama. Menurut beberapa catatan dan keterangan orang-orang yang dekat dengan Abu Daud, ia termasuk salah seorang yang buta huruf (tapi akhimya ia bisa juga baca dan tulis huruf latin). Ia hanya bisa membaca aksara Arab. Tapi jangan ditanya soal kemampuannya dalam masalah agama dan siasat perang.

Pendidikan yang ia jalani adalah pendidikan dari beberapa pesantren di daerahnya. Beberapa pesantren yang pernah menempa tokoh yang satu ini adalah Pesantren Titeue dan Pesantren Leumbeue. Kedua pesantren itu terkenal sebagai “pabrik” yang melahirkan pribadi-pribadi dengan militansi tinggi di bumi Serambi Makkah.

Abu Daud terkenal sebagai orator dan seorang yang pemurah hati. Kepeduliannya pada pendidikan rakyat Aceh pun sangat tinggi. Kepedulian pada pendidikan itu pula yang membuatnya pada tahun 1930 mendirikan Madrasah Sa’adah Adabiyah, di Sigli.

Sembilan tahun kemudian, bersama seorang sahabatnya, Daud Beureueh mendirikan sebuah organisasi sebagai wadah para ulama Aceh. Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), begitu ia memberi nama organisasi tersebut. PUSA inilah yang kelak menjadi motor perjuangan melawan penjajah Belanda.

Selain itu, PUSA didirikan untuk mempersatukan visi para ulama Aceh terhadap syariat Islam dan memperbaiki program-program sekolah agama di Aceh. Meski pada awalnya didirikan dengan latar keagamaan, tak urung PUSA akhirnya dimusuhi Belanda. Itu semua karena gerakan PUSA berhasil mencerdaskan rakyat Aceh dan menanamkan semangat jihad yang tinggi untuk melawan penjajah. Hal ini menjadikannya sebagai tokoh PUSA yang paling diincar oleh pemerintah kolonial Belanda. Pengejaran yang dilakukan Belanda itulah yang membuat PUSA menjadi gerakan bawah tanah.

Kabar kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta, terlambat sampai di Aceh. Kabar merdeka baru diterima pada 15 Oktober1945. Mendengar kemerdekaan yang sudah mutlak, semangat perjuangan Abu Daud kian meledak. “Aceh juga harus merdeka,” pekiknya membangkitkan semangat mengusir Belanda yang berada di Aceh. Segera ia serukan lewat seluruh ulama di Aceh agar rakyat Aceh mendukung Soekarno. Namun seperti tertulis di atas, air susu dibalas air tuba.

Selain dukungan untuk Soekarno, masih banyak lagi sumbangsih rakyat Aceh yang nota bene salah satu hasil perjuangan Daud Beureueh. Sumbangsih tanda kasih pada Rl itu antara lain adalah saat ibukota Rl masih di Yogyakarta. Ketika kota itu diduduki dan Soekarna-Hatta ditawan Belanda dalam Agresi Militer II, tanpa dikomando, rakyat Aceh membangun dua pemancar radio untuk berkomunikasi dengan dunia luar yang terputus akibat aksi itu.

Begitu juga saat PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittingi dipindahkan ke Kutaraja. Rakyat Aceh menanggung seluruh biaya “akomodasi” pemerintahan darurat. Daftar sumbangsih rakyat Aceh untuk Rl akan semakin panjang jika kita masih mau mencari. Sebut saja cikal bakal penerbangan Indonesia. Rakyat Aceh-lah yang memulai dengan pesawat terbang Seulawah I dan II yang disumbangkan untuk Rl. Namun, tuntutan untuk hidup di bawah syariat Islam belum juga terwujud. Bahkan rakyat Aceh cenderung menjadi “anak tiri” Rl, ketika Soekarno membubarkan Provinsi Aceh dan melebumya menjadi bagian dari Sumatera Utara.

Tentu saja hal itu menimbulkan kemarahan rakyat Aceh. Daud Beureueh yang menjadi gubernur pertama Aceh, berkata lantang di atas mimbar, “Apabila tuntutan Provinsi Aceh tidak dipenuhi, kita pergi kegunung untuk membangun negara dengan cara kita sendiri.”

Puncaknya pada 21 September 1953, ia memimpin dan memproklamirkan bahwa Aceh bagian dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hal itu tidak lebih dari respon atas penindasan dan kekecewaan yang telah menggunung pada pemerintah Rl, lebih-lebih pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo.

Untuk meredakan aksi tersebut, pemerintah mengirim M. Natsir ke Aceh, dengan disepakatinya tuntutan rakyat Aceh dan diberikannya otonomi untuk Aceh. Namun masa tenang itu tak berlangsung lama. Penangkapan-penangkapan yang dilakukan pada anggota DI/TII terus berlanjut karena isu-isu rapat rahasia antara Daud Beureueh dengan Kartosoewiryo.

Banyak orang menyebut Daud Beureueh sebagai pemberontak. Pemberontakkah ia, jika setelah sekian lama memberikan baktinya tapi malah dera derita untuk Aceh yang diterimanya?

Abdul Kahar Muzakar : Hamba Tuhan yang Jantan

Dalam buku Revolusi Ketatanegaraan Indonesia, Abdul Kahar Muzakkar pernah menuliskan keterangan tentang dirinya. “Sedjak masa ketjil saja tidak pernah ditundukkan oleh lawan-lawan saja dalam perkelahian dan sedjak dewasa saja tidak pernah mendjadi “Pak Toeroet” pendapat seseorang di luar adjaran Islam.”

Pada bukunya lain yang berjudul Tjatatan Bathin Pedjoang Islam Revolusioner, ia kembali mempertegas siapa dirinya dengan mengeja arti namanya. Abdul artinya hamba, Kahar artinya Tuhan yang Gagah Perkasa, sedangkan Muzakkar memiliki makna jantan. “Jadi, Abdul Kahar Muzakkar berarti: Hamba Tuhan jang bersifat djantan.”

Kira-kira begitulah watak dan kepribadian Abdul Kahar Muzakkar. Sebuah pemahaman sekaligus penyerahan diri pada nilai-nilai Islam yang ditunjukkan oleh seorang pejuang.
Kahar Muzakkar, lahir dari keluarga Bugis berdarah panas, yang tak mengenal kata gentar dalam kamus hidupnya. Lahir 24 Maret 1921, di Kampung Lanipa, Ponrang, Sulawesi Selatan. Pada usia remaja, ia telah diminta oleh sang ayah untuk merantau menimba pengetahuan. Dan Jawa menjadi tujuannya. Di perguruan Muhammadiyah Solo, ia memintal ilmu agama. Di sini pula ia untuk pertama kali bergerak dalam gerakan Hizbul Wathon.

Kisah perjuangannya dimulai sejak Jepang memasuki Sulawesi. Tak seperti banyak pemuda, yang menganggap Jepang pembebas dari Timur, Kahar Muzakkar yang menolak menjadi Pak Turut tak mudah percaya. Pembelotan pertama yang ia jalani adalah menentang sikap Kerajaan Luwu yang kooperatif dengan penjajah Jepang. Hukuman pun dijatuhkan, Kahar Muzakkar dituduh menghina kerajaan dan diganjar vonis adat ri paoppangi tana, hukuman yang memaksa ia pergi dari tanah kelahiran.

Pada periode inilah ia terjun total dalam kancah perjuangan kemerdekaan. Ia mendirikan sebuah toko bernama Toko Luwu yang ia jadikan sebagai markas gerakannya. Kiprah ini pula yang mengantar beberapa muda menemui Kahar Muzakkar suatu malam dan meminta ia membantu pembebasan pemuda-pemuda berjumlah 800 di Nusakambangan. Pembebasan itu terjadi pada Desember 1945, dan 800 orang yang dibebaskan menjadi cikal bakal lasykar yang dibentuknya. Lasykar yang diberinama Komandan Groep Seberang ini pula yang menjadi motor perlawanan secara militer di Sulawesi Selatan.

Tapi, dalam perjalanannya, lasykar yang dipimpinnya dipaksa bubar oleh pemerintahan Soekarno yang baru berdiri. Dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel, ia menjadi perwira tanpa pasukan yang diterlantarkan.

Setelah itu, ia masih mencoba untuk berkiprah dengan mendirikan Partai Pantjasila Indonesia. Pada tanggal 7 Agustus 1953, ia memproklamirkan Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia. Dan proklamasi ini adalah awal dari babak baru perjuangan Abdul Kahar Muzakkar. Gerakan yang diusungnya ini mendapat simpati dari rakyat, bahkan kemudian, banyak anggota TNI yang disertir, melarikan diri masuk hutan dan bergabung bersama NII Sulawesi Selatan.

Perlawanan terhadap pemerintahan Soekarno masih terus dilakukan, dan tercatat sebagai perlawanan terpanjang dalam sejarah TNI di Sulawesi. Sebenarnya ia menaruh harapan yang sangat besar pada Soekarno. Ia berharap Soekarno mengawal Indonesia menjadi sebuah negara berdasarkan Islam, yang akan mengantarkannya pada kebesaran.

Dalam sebuah suratnya untuk Soekarno, ia mengutarakan hal tersebut. “Bung Karno yang saja muliakan. Alangkah bahagia dan Agungnja Bangsa Kita dibawah Pimpinan Bung Karno, jika sekarang dan sekarang djuga Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Islam, Pemimpin Besar Bangsa Indonesia, tampil ke muka menjeru Masjarakat Dunia yang sedang dipertakuti Perang Dunia III, dipertakuti kekuasaan Nuklir, kembali kedjalan damai dan perdamaian jang ditundjukkan oleh Tuhan dalam segala Adjarannja jang ada di dalam kitab sutji Al Qur’an....”

Tapi sayang, seruan Kahar Muzakkar seperti gaung di dalam sumur. Harap tak bertemu, malah petaka yang dituai. Kahar Muzakkar menjemput ajalnya di tangan tentara Divisi Siliwangi yang dikirim khusus menghabisi gerakannya. Kematiannya semakin menambah panjang daftar para pejuang yang dikhianati oleh sejarah bangsanya sendiri.

Label:

Jejak Emas Ulama Indonesia

Jejak Emas Para Ulama Indonesia

Indonesia mempunyai sejarah yang penuh dengan ulama luar biasa.

Soekarno, dalam surat menyuratnya dengan A. Hassan, suatu ketika pernah mengritik kesalahan ulama dalam kaitannya tentang sejarah. Menurut Soekarno dalam suratnya yang ia kirim dari tempat pembuangannya di Endeh, kemampuan ulama menulis, terlebih lagi menulis sejarah, sangatlah kurang dan lemah.

“Umumnya kita punja kjai-kjai dan kita punya ulama-ulama tak ada sedikitpun feeling kepada sedjarah, ja, boleh saja katakan kebanjakan tak mengetahui sedikitpun dari sedjarah itu. Mereka punya minat hanjua menudju kepada “agama chususi” sahaja, dan dari agama chususi ini, terutama sekali bagian fiqh. Sedjarah, apalagi bagian “jang lebih dalam”, jakni yang mempeladjari “kekuatan-kekuatan masjarakat” yang “menjebabkan” kemadjuannja atau kemundurannja sesuatu bangsa,— sedjarah disini sama sekali tidak menarik mereka punja perhatian. Padahal, disini, disinilah pada penjelidikan maha-maha-penting. Apa sebab mundur? Apa “sebab” bangsa ini di zaman ini begitu? Inilah pertanjaan-pertanjaan jang maha penting jang harus berputar terus menerus didalam kita punja ingatan, kalau kita mempeladjari naik turunnja sedjarah itu.

Tetapi bagaimana kita punja kjai-kjai dan ulama-ulama? Tadjwid tetapi pengetahuannja tentang sedjarah umumnja “nihil”. Paling mudjur mereka hanja mengetahui “Tarich Islam” sahadja, — dan inipun terambil dari buku-buku tarich Islam jang kuno, jang tak dapat “tahan” udjiannja modern science, jakni tak dapat “tahan” udjiannja ilmu pengetahuan modern!” (Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I, tahun 1963)


Surat di atas dikirim Soekarno kepada A. Hassan tertanggal 14 Desember 1936, dari Endeh. Soekarno bisa jadi benar. Tapi bisa jadi pula, ia salah besar. Sebab, menurut banyak catatan, ulama-ulama Indonesia, bahkan generasi awal-awal dakwah di Indonesia, punya keilmuan yang tinggi dan kemampuan menulis yang luar biasa. Namun ada proses lain, yakni deislamisasi yang dilakukan oleh para penjajah, baik Portugis, Inggris, dan juga Belanda.

Menurut Abdullah bin Abdul Kadir al Munsyi dalam hikayatnya tentang Kerajaan Malaka yang ditulis pada abad ke-13 hijriah, ada aksi pemberangusan yang dilakukan oleh Belanda. Dalam hikayat tersebut dijelaskan, Belanda mengumpulkan buku-buku dan hikayat yang dihasilkan oleh komunitas Muslim dari berbagai wilayah Melayu. Daerah-daerah mulai dari Riau, Langka, Pahang Trengganu dan Kelantan dijarah kekayaan intelektualnya. Tak kurang dari 70 jilid hikayat dan karya para ulama dirampas penjajah. Entah berapa banyak lagi yang telah dirampas dari wilayah Sumatera, Jawa dan juga dari kepulauan Maluku.

Abdullah Munsyi juga menyebutkan, Stamford Raffles setidaknya turut mengumpulkan 300 judul hikayat yang ditulis oleh para ulama zaman itu. Penjajah dari Spanyol dan Portugis bahkan jelas-jelas telah membakar karya-karya klasik para intelektual Islam. Pembakaran tersebut menurut Munsyi dilakukan atas perintah Kardinal Gemenis.

Tentang pernyataannya itu, Soekarno sebenarnya perlu dikoreksi. Ulama-ulama awal Nusantara, adalah orang-orang yang luar biasa. Mereka mempunyai kemampuan dan jaringan yang menakjubkan untuk zaman itu. Salah satu bukti yang menyatakan bahwa ulama silam punya kemampuan yang maksimal dalam penulisan sejarah ditunjukkan oleh tiga serangkai ulama yang cukup terkenal di masanya. Mereka adalah Nuruddin Ar Raniry, Al Singkili dan Al Maqasari yang hidup dan berkiprah pada abad-17. Nuruddin Ar Raniry, yang kini namanya diabadikan sebagai nama IAIN di Nanggroe Aceh Darussalam menulis dengan luar biasa sejarah perkembangan Islam Nusantara dalam risalah kuno berjudul Bustan as Salathin.

Dalam Bustan as Salathin bisa ditemui kisah-kisah “sedjarah” yang dimaksud Soekarno. Ar Raniry menuliskan tentang hubungan diplomatik antara kerajaan Islam di Aceh dengan Khalifah Utsmani di Turki. Ar Raniry mengisahkan, pada tahun 1562 di bulan Juni, seorang duta dari Aceh terlihat berada di Istanbul untuk meminta bantuan militer Utsmani guna menghadapi serangan Portugis di Nusantara. Duta ini, menurut Ar Raniry, adalah sebagian kecil dari duta yang dikirim. Di tengah perjalanan, mereka diserang oleh Portugis di tengah Samudera. Isi kapal yang penuh dengan barang berharga seperti emas, permata dan rempah-rempah dijarah oleh Portugis. Sedianya, barang-barang tersebut adalah persembahan untuk Khalifah Utsmani.

Sepulang dari Istanbul, dikabarkan, sang duta membawa pula bantuan militer yang akhirnya membantu Aceh mengusir Portugis. Duta itu pula yang membawa izin, bahwa kapal-kapal Aceh boleh mengibarkan bendera Turki di perairan sebagai jaminan keselamatan.

Selain menulis Bustan as Salathin, Ar Raniry juga menulis karya-karya lain yang monumental. Ada pula Ash Shirathal Mustaqim yang juga kitab fiqh. Ar Raniry menulis tidak kurang dari 29 karya terdiri dari ilmu kalam, fiqh, hadits, sejarah bahkan sampai ilmu perbandingan agama, yang memang tampak menjadi minat terbesari Ar Raniry.

Al Singkili bahkan pernah menulis karya berjudul Mir’at at Thullab yang membahas masalah-masalah fiqh dan hukum. Di dalam karya ini dibahas tentang syarat-syarat dan aturan menjadi hakim dan penegakan hukum Islam. Al Singkili juga menulis tentang fiqh muamalat dan menulis tafsir al Qur’an dengan judul Tarjuman al Mustafid yang terbit untuk pertama kali justru di Timur Tengah dan bukan di Indonesia.

Sedangkan Al Maqasari yang mempunyai nama lengkah Syekh Yusuf al Maqasari punya kiprah tak kalah luar biasa. Ia pernah berkeliling ke banyak tempat di Nusantara, termasuk singgah di daerah Banten dan menetap di rumah sesepuh Ustadz Abu Ridha atau Abdi Sumaithi yang kini duduk sebagai salah satu anggota Majelis Pertimbangan Partai Keadilan Sejahtera. Di Banten, Al Maqasari mengajarkan agama lalu melanjutkan perjalanan ke Timur Tengah, sebelum mengakhiri usia di Cape Town, Afrika.

Ulama-ulama seperti Ar Raniry, Al Singkili dan Al Maqasari adalah para ulama awal Nusantara yang membawa pembaruan dan mengajarkan syariat Islam di mana saja mereka berada.

Hubungan diplomatik yang terbangun, sebenarnya adalah bentuk hubungan yang lebih muda dibanding hubungan sebelumnya. Sebelum hubungan ini terbentuk, ada hubungan awal yang lebih menentukan, yakni pengiriman dan pertukaran ulama-ulama. Ulama-ulama Timur Tengah dikirim ke Indonesia untuk memberikan dakwah, dan ulama-ulama Indonesia berangkat ke Makkah, Madinah dan beberapa kota ilmu lain untuk memperluas dan memperdalam ilmu agama.

Meski hubungan ini sudah terjadi sejak lama, namun pada generasi setelah Ar Raniry, jaringan ulama Indonesia dan Timur Tengah menemui puncaknya. Beberapa ulama yang sangat terkenal pada generasi ini di antaranya adalah, Syekh Abdus Shamad al Falimbani dari Palembang, Syekh Muhammad Arsyad al Banjari dari Kalimantan, Syekh Rahman al Batawi dari Betawi, dan Syekh Dawud al Fatani dari Patani, Thailand Selatan.

Beberapa ulama yang disebutkan di atas mempunyai jaringan yang kuat. Mereka pernah belajar pada saat yang bersamaan di beberapa kota di Timur Tengah, terutama Makkah dan Madinah. Ulama-ulama ini mempelajari banyak ilmu, mulai dari akidah, akhlak, fiqh, sejarah Islam, matematika hingga ilmu falakh atau astronomi.

Terbetik kisah, suatu ketika, Al Palimbani, Al Banjari, Al Batawi dan Al Bugisi dikabarkan meminta izin pada guru mereka di Makkah, Athallah al Mashri, untuk menimba ilmu ke negeri Nabi Musa, Mesir. Namun sang guru memberi nasihat lain. Mengejar ilmu memang sangatlah penting, tapi mengajarkan ilmu adalah hal yang juga tak bisa ditinggalkan. Lalu sang guru, Athallah al Mashri, meminta mereka untuk kembali ke tanah air dan mengajarkan Islam serta berdakwah di tempat masing-masing.

Namun mereka tetap berkunjung ke Kairo. Tidak untuk belajar memang, hanya berziarah ke negeri dengan peradaban tinggi ini. Setelah ziarah ke Kairo, kecuali Al Falimbani, ulama-ulama lain pulang kembali ke tanah air dan melanjutkan dakwah di tempat masing-masing.

Sebelum mereka menuju perjalanan masing-masing, Arsyad al Banjari dan Wahab al Bugisi sempat singgah di Betawi untuk mengantarkan Rahman al Batawi pada tahun 1773 masehi atau 1186 hijriah. Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara menuturkan, dalam persinggahan tersebut, Al Banjari yang memang ahli dalam bidang astronomi dan matematika sempat meluruskan arah kiblat masjid-masjid yang terletak di dua daerah, Pekojan dan Jembatan Lima.

Setelah itu, para ulama ini berkiprah di daerah masing-masing. Kiprah paling menonjol tercatat dijalani oleh Muhammad Arsyad al Banjari yang langsung menduduki mufti Kerajaan Banjar saat sampai di wilayahnya. Sekembalinya Muhammad Arsyad ke Martapura, ia mendirikan pusat pendidikan Islam semacam pesantren di Jawa atau di Kalimantan. Lewat peran Muhammad Arsyad pula, Kesultanan Banjar mendirikan pengadilam hukum Islam yang pertama di Kalimantan. Muhammad Arsyad berusaha keras menerapkan dan menegakkan hukum dan syariat Islam di wilayahnya. Hal lain yang sangat luar biasa adalah, pada zaman itu, Muhammad Arsyad telah membicarakan penerapan zakat sebagai ganti peraturan pajak yang ditetapkan oleh Sultan Banjar.

Kisah-kisah di atas, hanya sebagian kecil saja dari ribuan kisah lain tentang peran ulama Indonesia. Sungguh, Muslim Indonesia mempunyai sejarah yang sangat dahsyat dan luar biasa.

Kita juga punya dasar dan pijakan yang sangat kuat untuk mengusung kembali pusaka yang telah hilang. Pusaka itu, tak lain dan tak bukan adalah hukum dan syariat Islam. Pondasi telah dibangun, tapi untuk beberapa lama kita lalai menjaga. Maka kini saatnya untuk memulai lagi dan membangun masa depan yang cerah, agar kerja para ulama terdahulu tak sia-sia.

Jenderal Soedirman : Panglima Shalih dari Karang Nongko
Pejuang kemerdekaan yang mengobarkan semangat jihad, perlawa nan terhadap kezaliman, membekali dirinya dengan pemahaman dan pengetahuan agama yang dalam, sebelum terjun dalam dunia militer untuk seterusnya aktif dalam aksi-aksi perlawanan dalam mempertahankan kemerdekaan negeri. Mengawali karir militernya sebagai seorang dai muda yang giat berdakwah di era 1936-1942 di daerah Cilacap dan Banyumas. Hingga pada masa itu Soedirman adalah dai masyhur yang dicintai masyarakat.
Lahir dari keluarga petani kecil, di desa Bodaskarangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, pada tanggal 24 Januari 1916. Ayahnya seorang mandor tebut pada pabrik gula di Purwokerto. Sejak bayi Soedirman diangkat anak oleh asisten wedana (camat) di Rembang, R. Tjokrosunaryo.
Ketika ia menjadi seorang panglima, Soedirman adalah seorang yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Memiliki semangat berdakwah yang tinggi, dan lebih banyak menekankan pada ajaran tauhid, kesadaran beragama serta kesadaran berbangsa. Sebagai bagian dari hamba-hamba Allah, kepedulian akan kemurnian nilai-nilai ketauhidan terhadap masyarakat Jawa yang masih sangat kental dipengaruhi oleh adat istiadat. Menjadi suatu kegiatan dakwah yang memiliki nilai strategis, karena dengan cara itulah semangat jihad untuk melakukan perlawanan dalam diri rakyat dapat terpompa dan terpelihara. Termasuk bagi seorang Soedirman, yang memulainya dari kepanduan Hizbul Wathon bagian dari Muhammadiyah.



Bakat dan jiwa perjuangannya mulai terlihat sejak dari kepanduan Hizbul Wathon ini, juga peningkatan kemampuan fisik dan penggemblengan mental. Bakat kemiliterannya ditempa melalui organisasi berbasis dakwah. Bahkan semangatnya berjihad telah mengantarkan Soedirman menjadi orang nomor satu dalam sejarah militer Indonesia.

Sebagai kader Muhammdiyah, Panglima Soedirman dikenal sebagai santri atau jamaah yang cukup aktif dalam pengajian “malam selasa”, yakni pengajian yang diselenggarakan oleh PP Muhammadiyah di Kauman berdekatan dengan Masjid Besar Yogyakarta. Seorang Panglima yang istimewa, dengan kekuatan iman dan keislaman yang melekat kuat dalam dadanya. Sangat meneladani kehidupan Rasulullah, yang mengajarkan kesederhaan dan kebersahajaan. Sehingga perlakuan khusus dari jamaah pengajian yang rutin diikutinya, dianggap terlalu berlebihan dan ditolaknya dengan halus.

Seorang jenderal yang shalih, senantiasa memanfaatkan momentum perjuangan dalam rangka menegakkan kemerdekaan sebagai bagian dari wujud pelaksanaan jihad fi sabilillah. Dan ini ia tanamkan kepada para anak buahnya, bahwa mereka yang gugur dalam perang ini tidaklah mati sia-sia, melainkan gugur sebagai syuhada. Untuk menyebarluaskan semangat perjuangan jihad tersebut, baik di kalangan tentara atau pun seluruh rakyat Indonesia, Jenderal besar ini menyebarkan pamflet atau selebaran yang berisikan seruan kepada seluruh rakyat dan tentara untuk terus berjuang melawan Belanda dengan mengutip salah satu hadits Nabi. “Insjafilah! Barangsiapa mati, padahal (sewaktoe hidoepnja) beloem pernah toeroet berperang (membela keadilan) bahkan hatinya berhasrat perang poen tidak, maka matilah ia diatas tjabang kemoenafekan.”

Perang gerilya yang dilakukan, tak luput dari mencontoh apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Sewaktu berada di desa Karangnongko, setelah sebelumnya menetap di desa Sukarame, Panglima Besar Soedirman yang memiliki naluri seorang pejuang, menganggap desa tersebut tidak aman bagi keselamatan pasukannya. Maka beliau pun mengambil keputusan untuk meninggalkan desa dengan taktik penyamaran, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah besarta para sahabatnya saat akan berhijrah. Setelah shalat subuh, Pak Dirman yang memiliki nama samaran Pak De dengan beberapa pengawal pergi menuju hutan. Mantel yang biasa dipakai olehnya ditinggal dalam rumah di desa itu, termasuk beberapa anggota rombongan yang terdiri dari Suparjo Rustam dan Heru Kesser. Pagi harinya Heru Kesser segera mengenakan mantel tersebut dan bersama Suparjo Rustam berjalan menuju arah selatan, sampai pada sebuah rumah barulah mantel tersebut dilepas dan mereka berdua bersama beberapa orang secara hati-hati pergi menyusul Soedirman. Dan sore harinya pasukan Belanda dengan pesawat pemburunya memborbardir rumah yang sempat disinggahi Heru Kesser dan Suparjo Rustam, dan ini membuktikan betapa seorang Panglima sekaligus dai ini begitu menguasai taktik dan sejarah perjuangan dalam Islam.

Sebuah perjuangan yang penuh dengan kateladanan, baik untuk menjadi pelajaran dan contoh bagi kita semua, anak bangsa. Perjalanan panjang seorang dai pejuang yang tidak lagi memikirkan tentang dirinya melainkan berbuat dan berkata hanya untuk rakyat serta bangsa tercinta. Penyakit TBC yang diderita, tidak menyurutkan langkah perjuangannya. Sampai akhir usianya, 38 tahun, Panglima Besar Jenderal Soedirman yang dicintai rakyat menutup hidupnya tanggal 29 Januari 1950, tepat hari Ahad. Bangsa ini mencatat satu lagi pejuang umat, yang lahir dari umat dan selalu berjalan seiring untuk kepentingan umat.

Bung Tomo : Arsitek Pasukan Bom Syahid
Cita-cita sejati seorang pejuang besar, ingin mendidik anak anak muda bangsa menjadi patriot bangsa. Baginya perjuangan tak memiliki arti, bila tak ada generasi penerus yang memiliki jiwa patriot.

Demikian sedikit dari bagian rencana masa depan seorang patriot bangsa yang lahir di Surabaya pada tanggal 3 Oktober 1920, dengan nama Sutomo dan dikenal oleh bangsa ini sebagai Bung Tomo. Sebagai pejuang memang tak henti-hentinya terus memikirkan nasib bangsa. Bung Tomo khawatir jika tak ada generasi penerus yang berjiwa patriot, maka bangsa Indonesia akan hancur dan tentu akan kembali di jajah dalam bentuk lain.
Jiwa patriot yang tertanam dalam dada Bung Tomo, adalah jiwa patriot yang lahir dari kekuatan iman seorang Muslim. Bung Tomo meyakini bahwa berjuang dengan niat ikhlas membela kemerdekaan serta kedaulatan bangsa atas nama Allah, maka tak ada satu pun kerugian yang ia dapatkan. Untuk itulah, saat pemerintah waktu itu dianggap terlalu lambat dalam menghadapi pergerakan Belanda yang membonceng sekutu, Bung Tomo bersama rakyat melahirkan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), dan sejak 12 Oktober 1945 ia menjadi pucuk pimpinan di BPRI.



Sebagai pejuang yang lahir dari kepanduan, ia telah dibekali pemahaman serta pengajaran agama yang matang. Bung Tomo, memegang teguh prinsip bahwa sebagai seorang pandu dan pejuang bangsa dirinya harus suci dalam perkataan atau pun perbuatan. Bekal inilah yang menjadi pondasi dasar dalam setiap pergerakan perjuangannya, sehingga pekikan Allahu Akbar yang selalu terdengar dalam menyemangati perlawanan pemuda dan rakyat memiliki kekuatan sangat besar dan tak tertandingi.

Kalimat Allahu Akbar, serta semboyan merdeka atau mati syahid, merupakan semboyan yang sangat akrab diteriakkan melalui corong radio. Saat itu hanya ada dua orang besar yang mampu mengobarkan semangat perlawanan melalui pidato-pidato perjuangan, Bung Tomo dan Soekarno.

Kisah-kisah perjuangan yang sangat menarik banyak lahir dalam setiap kali terjadi aksi pertempuran, dan ini bukti dari pertolongan Allah kepada para tentaranya yang rela mengorbankan jiwa dan hartanya demi menegakkan nilai-nilai kebenaran. Sebagaimana yang dialami Bung Tomo dalam satu perang gerilya, bersama pasukannya saat sudah tak bisa lagi berbuat apa-apa karena pesawat Belanda ketika itu telah mengepung dari atas dan tak ada lagi tempat berlindung. Namun atas kebesaran dan kekuasaan Allah, gumpalan awan menutupi Bung Tomo beserta pasukannya yang berada dalam sasaran tembak pesawat-peswat tempur Belanda.

Inilah yang semakin mengokohkan jiwa perlawanan Bung Tomo. Semangat jihadnya terus meningkat, dan ia tanamkan kepada teman-teman seperjuangannya. Termasuk saat terjadi perisitwa 10 November 1945, Bung Tomo adalah penggerak perlawanan rakyat yang didukung oleh ulama-ulama Surabaya kala itu. Untuk itulah sebagai seorang pejuang besar yang bergerak bersama dengan pekikan Allah Akbar, Bung Tomo menjadi orang yang paling diinginkan Belanda. Bagi yang dapat menangkap atau pun membunuh Bung Tomo, Belanda menjanjikan hadiah besar.

Perjuangan kala itu benar-benar membutuhkan pengorbanan yang besar, dan salah satunya adalah pengorbanan jiwa dengan tulus. Di antara tahun 1945-1949, sebagai bentuk lain perjuangan, Bung Tomo membentuk pasukan berani mati, yakni pasukan bom syahid yang siap mengorbankan jiwanya untuk menghancurkan tentara sekutu dan Belanda yang ingin kembali menancapkan kukunya di bumi pertiwi. Suasana revolusi saat itu, benar-benar melahirkan banyak jiwa-jiwa patriot. Sehingga Bung Tomo pun sangat terharu ketika seorang pemuda dengan perawakan lusuh dan datang jauh dari Surabaya, sekadar ingin bergabung menjadi pasukan bom syahid yang siap meledakkan dirinya ke arah tank-tank penjajah.

Pasukan bom syahid yang dibentuk oleh Bung Tomo, adalah pasukan terlatih dan benar-benar ditempa keimanannya. Termasuk pemuda yang telah mengesankan Bung Tomo, ia menjadi bom syahid pertama yang menubrukkan dirinya ke tank Belanda. Dan bersama dengan hancurnya tank tersebut, bersamaan itu pula lahir satu syuhada yang menjadi bunga bangsa dan teladan bagi siapa pun yang mengaku sebagai pejuang bangsa dan agama.

Sebagai seorang pejuang yang berjuang bersama buruh, petani, tukang becak dan rakyat jelata lain, Bung Tomo tetap mempertahankan kehidupan bersahaja, dan tak pernah mau menerima dalam bentuk apa pun fasilitas dari pemerintah setelah revolusi kemerdekaan usai. Bung Tomo tetaplah pejuang yang memikirkan rakyatnya, memikirkan bangsanya. Pengabdian terhadap bangsa dan negara tetap ia teruskan, semua demi satu tujuan dan keyakinan bahwa surga akan menanti di hadapannya.

Tanggal 16 Okotober tahun 1981, setelah melaksanakan wukuf di Arafah dalam rangkaian ibadah haji, Bung Tomo yang dilahirkan sebagai pejuang bangsa menutup usianya di tempat suci dan pada hari yang dimuliakan oleh Allah.

Label:

19 Mei 2008

20 May; BUKAN HARI KEBANGKITAN NASIANAL


X-Files : Harkitnas Kelahiran organisasi Boedhi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 sesungguhnya amat tidak patut dan tidak pantas diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, karena organisasi ini mendukung penjajahan Belanda, sama sekali tidak pernah mencita-citakan Indonesia merdeka, a-nasionalis, anti agama, dan bahkan sejumlah tokohnya merupakan anggota Freemasonry Belanda (Vritmejselareen).

Dipilihnya tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, sesungguhnya merupakan suatu penghinaan terhadap esensi perjuangan merebut kemerdekaan yang diawali oleh tokoh-tokoh Islam yang dilakukan oleh para penguasa sekular. Karena organisasi Syarikat Islam (SI) yang lahir terlebih dahulu dari Boedhi Oetomo (BO), yakni pada tahun 1905, yang jelas-jelas bersifat nasionalis, menentang penjajah Belanda, dan mencita-citakan Indonesia merdeka, tidak dijadikan tonggak kebangkitan nasional.


Mengapa BO yang terang-terangan antek penjajah Belanda, mendukung penjajahan Belanda atas Indonesia, a-nasionalis, tidak pernah mencita-citakan Indonesia merdeka, dan anti-agama malah dianggap sebagai tonggak kebangkitan bangsa? Ini jelas kesalahan yang teramat nyata.


Anehnya, hal ini sama sekali tidak dikritisi oleh tokoh-tokoh Islam kita. Bahkan secara menyedihkan ada sejumlah tokoh Islam dan para Ustadz selebritis yang ikut-ikutan merayakan peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei di berbagai event. Mereka ini sebenarnya telah melakukan sesuatu tanpa memahami esensi di balik hal yang dilakukannya. Rasulullah SAW telah mewajibkan umatnya untuk bersikap: “Ilmu qabla amal” (Ilmu sebelum mengamalkan), yang berarti umat Islam wajib mengetahui duduk-perkara sesuatu hal secara benar sebelum mengerjakannya.

Bahkan Sayyid Quthb di dalam karyanya “Tafsir Baru Atas Realitas” (1996) menyatakan orang-orang yang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan yang cukup adalah sama dengan orang-orang jahiliyah, walau orang itu mungkin seorang ustadz bahkan profesor. Jangan sampai kita “Fa Innahu Minhum” (kita menjadi golongan mereka) terhadap kejahiliyahan.

Agar kita tidak terperosok berkali-kali ke dalam lubang yang sama, sesuatu yang bahkan tidak pernah dilakukan seekor keledai sekali pun, ada baiknya kita memahami siapa sebenarnya Boedhi Oetomo itu.

Pendukung Penjajahan Belanda
Akhir Februari 2003, sebuah amplop besar pagi-pagi telah tergeletak di atas meja kerja penulis. Pengirimnya KH. Firdaus AN, mantan Ketua Majelis Syuro Syarikat Islam kelahiran Maninjau tahun 1924. Di dalam amplop coklat itu, tersembul sebuah buku berjudul “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa” karya si pengirim. Di halaman pertama, KH. Firdaus AN menulis: “Hadiah kenang-kenangan untuk Ananda Rizki Ridyasmara dari Penulis, Semoga Bermanfaat!” Di bawah tanda tangan beliau tercantum tanggal 20. 2. 2003.

KH. Firdaus AN telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Namun pertemuan-pertemuan dengan beliau, berbagai diskusi dan obrolan ringan antara penulis dengan beliau, masih terbayang jelas seolah baru kemarin terjadinya. Selain topik pengkhianatan the founding-fathers bangsa ini yang berakibat dihilangkannya tujuh buah kata dalam Mukadimmah UUD 1945, topik diskusi lainnya yang sangat konsern beliau bahas adalah tentang Boedhi Oetomo.

BO tidak memiliki andil sedikit pun unuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia. Dan BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935.

BO adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, di mana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya, ” tegas KH. Firdaus AN.


BO didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa para mahasiswa kedokteran STOVIA, Soetomo dan kawan-kawan. Perkumpulan ini dipimpin oleh para ambtenaar, yakni para pegawai negeri yang setia terhadap pemerintah kolonial Belanda. BO pertama kali diketuai oleh Raden T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar kepercayaan Belanda, yang memimpin hingga tahun 1911. Kemudian dia diganti oleh Pangeran Aryo Notodirodjo dari Keraton Paku Alam VIII Yogyakarta yang digaji oleh Belanda dan sangat setia dan patuh pada induk semangnya.

Di dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan di dalam penyusunan anggaran dasar organisasi, BO menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia.

“Tidak pernah sekali pun rapat BO membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri, dan menjelek-jelekkan Islam yang dianggapnya sebagai batu sandungan bagi upaya mereka, ” papar KH. Firdaus AN.

Di dalam Pasal 2 Anggaran Dasar BO tertulis “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis.” Inilah tujuan BO, bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan.

Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereniging berkata: “Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya... Sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan.

Sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik BO di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (M. S) Al-Lisan nomor 24, 1938.

Karena sifatnya yang tunduk pada pemerintahan kolonial Belanda, maka tidak ada satu pun anggota BO yang ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda. Arah perjuangan BO yang sama sekali tidak berasas kebangsaan, melainkan chauvinisme sempit sebatas memperjuangkan Jawa dan Madura saja telah mengecewakan dua tokoh besar BO sendiri, yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya hengkang dari BO.

Bukan itu saja, di belakang BO pun terdapat fakta yang mencengangkan. Ketua pertama BO yakni Raden Adipati Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, ternyata adalah seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Lodge Mataram sejak tahun 1895.

Sekretaris BO (1916), Boediardjo, juga seorang Mason yang mendirikan cabangnya sendiri yang dinamakan Mason Boediardjo.

Hal ini dikemukakan dalam buku “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962” (Dr. Th. Stevens), sebuah buku yang dicetak terbatas dan hanya diperuntukan bagi anggota Mason Indonesia.

Dalam tulisan kedua akan dibahas mengenai organisasi kebangsaan pertama di Indonesia, Syarikat Islam, yang telah berdiri tiga tahun sebelum BO, dan perbandinganya dengan BO, sehingga kita dengan akal yang jernih bisa menilai bahwa Hari Kebangkitan Nasional seharusnya mengacu pada kelahiran SI pada tanggal 16 Oktober 1905, sama sekali bukan 20 Mei 1908. (Bersambung/Rizki Ridyasmara/eramuslim)



Sarekat Islam congress in 1913
On the podium sits the Pangeran Ngabei, a prince of the royal house of Solo.
(sumber : http://www.lowensteyn.com/indonesia/sarekat.html )


Bagian II
Dalam tulisan bagian pertama, telah dipaparkan betapa organisasi Boedhi Oetomo (BO) sama sekali tidak pantas dijadikan tonggak kebangkitan nasional. Karena BO tidak pernah membahas kebangsaan dan nasionalisme, mendukung penjajahan Belanda atas Indonesia, anti agama, dan bahkan sejumlah tokohnya ternyata anggota Freemasonry. Ini semua mengecewakan dua pendiri BO sendiri yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya akhirnya hengkang dari BO.

Tiga tahun sebelum BO dibentuk, Haji Samanhudi dan kawan-kawan mendirikan Syarikat Islam (SI, awalnya Syarikat Dagang Islam, SDI) di Solo pada tanggal 16 Oktober 1905. “Ini merupakan organisasi Islam yang terpanjang dan tertua umurnya dari semua organisasi massa di tanah air Indonesia, ” tulis KH. Firdaus AN.

Berbeda dengan BO yang hanya memperjuangkan nasib orang Jawa dan Madura—juga hanya menerima keanggotaan orang Jawa dan Madura, sehingga para pengurusnya pun hanya terdiri dari orang-orang Jawa dan Madura—sifat SI lebih nasionalis. Keanggotaan SI terbuka bagi semua rakyat Indonesia yang mayoritas Islam. Sebab itu, susunan para pengurusnya pun terdiri dari berbagai macam suku seperti: Haji Samanhudi dan HOS. Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatera Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku.

Guna mengetahui perbandingan antara kedua organisasi tersebut—SI dan BO—maka di bawah ini dipaparkan perbandingan antara keduanya:

Perbandingan SI vs BO

Keterangan

SI BO
Tujuan SI bertujuan Islam Raya dan Indonesia Raya, BO bertujuan menggalang kerjasama guna memajukan Jawa-Madura (Anggaran Dasar BO Pasal 2).
Sifat SI bersifat nasional untuk seluruh bangsa Indonesia, BO besifat kesukuan yang sempit, terbatas hanya Jawa-Madura,
Bahasa SI berbahasa Indonesia, anggaran dasarnya ditulis dalam bahasa Indonesia, BO berbahasa Belanda, anggaran dasarnya ditulis dalam bahasa Belanda
Sikap Terhadap Belanda SI bersikap non-koperatif dan anti terhadap penjajahan kolonial Belanda, BO bersikap menggalang kerjasama dengan penjajah Belanda karena sebagian besar tokoh-tokohnya terdiri dari kaum priyayi pegawai pemerintah kolonial Belanda,
Sikap Terhadap Agama SI membela Islam dan memperjuangkan kebenarannya, BO bersikap anti Islam dan anti Arab (dibenarkna oleh sejarawan Hamid Algadrie dan Dr. Radjiman)
Perjuangan Kemerdekaan SI memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mengantar bangsa ini melewati pintu gerbang kemerdekaan, BO tidak pernah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan telah membubarkan diri tahun 1935, sebab itu tidak mengantarkan bangsa ini melewati pintu gerbang kemerdekaan,
Korban Perjuangan Anggota SI berdesak-desakan masuk penjara, ditembak mati oleh Belanda, dan banyak anggotanya yang dibuang ke Digul, Irian Barat, Anggota BO tidak ada satu pun yang masuk penjara, apalagi ditembak dan dibuang ke Digul,
Kerakyatan SI bersifat kerakyatan dan kebangsaan, BO bersifat feodal dan keningratan,
Melawan Arus SI berjuang melawan arus penjajahan, BO menurutkan kemauan arus penjajahan,
Kelahiran SI (SDI) lahir 3 tahun sebelum BO yakni 16 Oktober 1905, BO baru lahir pada 20 Mei 1908,


Seharusnya 16 Oktober
Hari Kebangkitan Nasional yang sejak tahun 1948 kadung diperingati setiap tanggal 20 Mei sepanjang tahun, seharusnya dihapus dan digantikan dengan tanggal 16 Oktober, hari berdirinya Syarikat Islam. Hari Kebangkitan Nasional Indonesia seharusnya diperingati tiap tanggal 16 Oktober, bukan 20 Mei. Tidak ada alasan apa pun yang masuk akal dan logis untuk menolak hal ini.

Jika kesalahan tersebut masih saja dilakukan, bahkan dilestarikan, maka saya khawatir bahwa jangan-jangan kesalahan tersebut disengaja. Saya juga khawatir, jangan-jangan kesengajaan tersebut dilakukan oleh para pejabat bangsa ini yang sesungguhnya anti Islam dan a-historis.

Jika keledai saja tidak terperosok ke lubang yang sama hingga dua kali, maka sebagai bangsa yang besar, bangsa Indonesia seharusnya mulai hari ini juga menghapus tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, dan melingkari besar-besar tanggal 16 Oktober dengan spidol merah dengan catatan “Hari Kebangkitan Nasional”. (Tamat/Rizki Ridyasmara/eramuslim)

LINK
  1. http://www.kitlv.nl/
  2. http://id.wikipedia.org/wiki/Freemasonry
  3. http://en.wikipedia.org/wiki/Budi_Utomo
  4. http://www.britannica.com/eb/article-9075859/Budi-Utomo
  5. http://www.nla.gov.au/exhibitions/southland/Exp-Out_of_Batavia.html
  6. http://www.4dw.net/royalark/Indonesia/pakuala3.htm
  7. http://www.gimonca.com/sejarah/sejarah06.shtml





Label:

Kau benar-benar sudah Kafir Gus..!

Wawancara Gus Dur di islamlib.com
Kutipan:
Wawancara
KH. Abdurrahman Wahid:
Jangan Bikin Aturan Berdasarkan Islam Saja!
10/04/2006

Pola pandang dan sikap yang terus menghargai perbedaan dalam kerangka keragaman etnis, budaya, dan agama di Indonesia, masih tetap manjadi ciri khas KH. Abdurrahman Wahid, mantan orang nomor satu di negeri ini. Kyai nyentrik yang akrab disapa Gus Dur itu, kembali mengingatkan pentingnya menolak penyeragaman cara pandang, sikap, maupun perilaku dalam beragama dan bernegara di negeri ini.

Berikut petikan wawancara M. Guntur Romli dan Alif Nurlambang (JIL) dengan Gus Dur tentang pelbagai persoalan mutakhir negeri ini pekan lalu.

JIL: Gus Dur, akhir-akhir ini ada polemik tentang Perda Tangerang tentang pelacuran dan rencana UU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Apa komentar Gus Dur tentang Perda yang melarang pelacuran tanpa pandang bulu itu?

KH. ABDURRAHMAN WAHID: Menurut saya, baik Perda Tangerang maupun RUU APP yang kini diributkan, harus jelas dulu siapa yang merumuskan dan menentukannya. Pelacuran memang dilarang agama, tapi siapakah pelacur itu?! Jangan-jangan, yang kita tuduh pelacur justru bukan pelacur. Dari dulu memang ada dua hal yang perlu kita perhatikan sebelum menetapkan undang-undang. Pertama tentang siapa yang merumuskan. Dan kedua tentang apakah dia memiliki hak antara pelaksana dan pihak lain. Contoh paling jelas adalah soal definisi pornografi. Ketika tidak jelas ini dan itu pornonya, yang berhak menentukannya adalah Mahkamah Agung.

Tapi di luar itu, masih banyak masalah-masalah yang mendera negara kita yang lebih butuh penyelesaian, seperti persoalan ekonomi. Jadi prioritas kita bukan membikin aturan macam-macam. Contohnya, isu pelacuran itu juga sangat terkait dengan soal ekonomi. Meski kita mau bikin seribu peraturan, tapi tidak ada peningkatan taraf kehidupan, pelacuran tidak akan pernah bisa tersentuh, boro-boro bisa dihilangkan. Jika hal ini terjadi, maka aturan tidak akan berfungsi apa-apa, kecuali untuk selalu dilanggar.


JIL: Salah satu dasar munculnya perda-perda seperti itu adalah alasan otonomi daerah. Menurut Gus Dur bagaimana?

Otonomi daerah tidak mesti sedemikian jauh. Dia harus spesifik. Seperti salah satu negara bagian Amerika Serikat, Louisiana, yang masih melandaskan diri pada undang-undang Napoleon dari Perancis, walaupun negara-negara bagian lain menggunakan undang-undang Anglo-Saxon. Perbedaan tersebut sudah dijelaskan dalam undang-undang dasar mereka di sana semenjak awal, bukan ditetapkan belakangan dan secara serampangan. Untuk Indonesia, daerah-daerah mestinya tidak bisa memakai dan menetapkan undang-udang secara sendiri-sendiri. Itu bisa kacau.

JIL: Bagaimana kalau otonomi daerah juga hendak mengatur persoalan agama?

Otonomi daerah itu perlu dipahami sebagai kebebasan untuk melaksanakan aturan yang sudah ada, bukan kebebasan untuk menetapkan undang-undang sendiri. Pengertian otonomi daerah itu bukan seperti yang terjadi sekarang ini; daerah mau merdeka di mana-mana dan dalam segala hal. Sikap itu tidak benar.

JIL: Apakah beberapa daerah yang mayoritas non-muslim seperti NTT, Papua, Bali, dan lain-lain, dibolehkan menerapkan aturan agama mereka masing-masing dengan alasan otonomi daerah?

Iya nggak apa-apa. Itu konsekuensinya kan? Makanya, kita tidak usah ribut-ribut soal perda dan aturan yang berasal dari satu agama. Dulu di tahun 1935, kakek saya dari ayah, Almarhum KH. Hasyim Asy’ari, sudah ngotot-ngotot berpendapat bahwa kita tidak butuh negara Islam untuk menerapkan syariat Islam. Biar masyarakat yang melaksanakan (ajaran Islam, Red), bukan karena diatur oleh negara. Alasan kakek saya berpulang pada perbedaan-perbedaan kepenganutan agama dalam masyarakat kita. Kita ini bukan negara Islam, jadi jangan bikin aturan-aturan yang berdasarkan pada agama Islam saja.

JIL: Gus, ada yang berpendapat dengan adanya RUU APP dan sejumlah perda-perda syariat, Indonesia akan ‘diarabkan’. Apa Gus Dur setuju dengan pendapat itu?

Iya betul, saya setuju dengan pendapat itu. Ada apa sih sekarang ini? Ngapain kita ngelakuin gituan. Saya juga bingung; mereka menyamakan Islam dengan Arab. Padahal menurut saya, Islam itu beda dengan Arab. Tidak setiap yang Arab itu mesti Islam. Contohnya tidak usah jauh-jauh. Semua orang tahu bahwa pesantren itu lembaga Islam, tapi kata pesantren itu sendiri bukan dari Arab kan? Ia berasal dari bahasa Pali, bahasa Tripitaka, dari kitab agama Buddha.

JIL: Kalau syariat Islam diterapkan di Indonesia secara penuh, bagaimana kira-kira nasib masyarakat non-muslim?

Ya itulah’ Kita tidak bisa menerapkan syariat Islam di Indonesia kalau bertentangan dengan UUD 45. Dan pihak yang berhak menetapkan aturan ini adalah Mahkamah Agung. Hal ini menjadi prinsip yang harus kita jaga bersama-sama. Tujuannya agar negeri kita aman. Jangan sampai kita ini, dalam istilah bahasa Jawa, usrek (Red: ribut) terus. Kalau kita usrek, gimana mau membangun bangsa? Ribut mulu sih... Dan persoalannya itu-itu saja.

JIL: Bagaimana dengan barang dan tayangan erotis yang kini dianggap sudah akrab dalam masyarakat kita?

Erotisme merupakan sesuatu yang selalu mendampingi manusia, dari dulu hingga sekarang. Untuk mewaspadai dampak dari erotisme itu dibuatlah pandangan tentang moral. Dan moralitas berganti dari waktu ke waktu. Dulu pada zaman ibu saya, perempuan yang pakai rok pendek itu dianggap cabul. Perempuan mesti pakai kain sarung panjang yang menutupi hingga matakaki. Sekarang standar moralitas memang sudah berubah. Memakai rok pendek bukan cabul lagi. Oleh karena itu, kalau kita mau menerapkan suatu ukuran atau standar untuk semua, itu sudah merupakan pemaksaan. Sikap ini harus ditolak. Sebab, ukuran satu pihak bisa tidak cocok untuk pihak yang lain. Contoh lain adalah tradisi tari perut di Mesir yang tentu saja perutnya terbuka lebar dan bahkan kelihatan puser. Mungkin bagi sebagian orang, tari perut itu cabul. Tapi di Mesir, itu adalah tarian rakyat; tidak ada sangkut-pautnya dengan kecabulan.

JIL: Jadi erotisme itu tidak mesti cabul, Gus?

Iya, tidak bisa. Anda tahu, kitab Rawdlatul Mu‘aththar (The Perfumed Garden, Kebun Wewangian) itu merupakan kitab bahasa Arab yang isinya tatacara bersetubuh dengan 189 gaya, ha-ha-ha.. Kalau gitu, kitab itu cabul, dong? ha-ha-ha’ Kemudian juga ada kitab Kamasutra. Masak semua kitab-kitab itu dibilang cabul? Kadang-kadang saya geli, mengapa kiai-kiai kita, kalau dengerin lagu-lagu Ummi Kultsum’penyanyi legendaris Mesir’bisa sambil teriak-teriak ‘Allah’ Allah’’ Padahal isi lagunya kadang ngajak orang minum arak, ha-ha-ha.. Sangat saya sayangkan, kita mudah sekali menuding dan memberi cap sana-sini; kitab ini cabul dan tidak sesuai dengan Islam serta tidak boleh dibaca. Saya mau cerita. Dulu saya pernah ribut di Dewan Pustaka dan Bahasa di Kuala Lumpur Malaysia. Waktu itu saya diundang Prof. Husein Al-Attas untuk membicarakan tema Sastra Islam dan Pornografi. Nah, saya ributnya dengan Siddik Baba. Dia sekarang menjadi pembantu rektor di Universitas Islam Internasional Malaysia. Menurut dia, yang disebut karya sastra Islam itu harus sesuai dengan syariat dan etika Islam. Karya-karya yang menurutnya cabul bukanlah karya sastra Islam. Saya tidak setuju dengan pendapat itu. Kemudian saya mengulas novel sastrawan Mesir, Naguib Mahfouz, berjudul Zuqaq Midaq (Lorong Midaq), yang mengisahkah pola kehidupan di gang-gang sempit di Mesir. Tokoh sentralnya adalah seorang pelacur. Dan pelacur yang beragama Islam itu bisa dibaca pergulatan batinnya dari novel itu. Apakah buku itu tidak bisa disebut sebuah karya Islam hanya karena ia menceritakan kehidupan seorang pelacur? Ia jelas produk seorang sastrawan brilian yang beragama Islam. Aneh kalau novel itu tidak diakui sebagai sastra Islam.

JIL: Gus, ada yang bilang kalau kelompok-kelompok penentang RUU APP ini bukan kelompok Islam, karena katanya kelompok ini memiliki kitab suci yang porno?

Sebaliknya menurut saya. Kitab suci yang paling porno di dunia adalah Alqur’an, ha-ha-ha.. (tertawa terkekeh-kekeh).

JIL: Maksudnya?

Loh, jelas kelihatan sekali. Di Alqur’an itu ada ayat tentang menyusui anak dua tahun berturut-turut. Cari dalam InJIL kalau ada ayat seperti itu. Namanya menyusui, ya mengeluarkan tetek kan?! Cabul dong ini. Banyaklah contoh lain, ha-ha-ha’

JIL: Bagaimana dengan soal tak boleh membuka dan melihat aurat dan karena itu orang bikin aturan soal aurat perempuan lewat perda-perda?

Menutup aurat dalam arti semua tubuh tertutup itu baik saja. Namun belum tentu kalau yang disebut aurat itu kelihatan, hal itu tidak baik. Aurat memiliki batasan maksimal dan minimal. Nah bukan berarti batasan minimal itu salah. Kesalahan RUU yang ingin mengatur itu adalah: menyamakan batasan maksimal dan minimal dalam persoalan aurat. Sikap itu merupakan cara pandang yang salah. Kemudian, yang disebut aurat itu juga perlu dirumuskan dulu sebagai apa. Cara pandang seorang sufi berbeda dengan ahli syara’ tentang aurat, demikian juga dengan cara pandang seorang budayawan. Tukang pakaian melihatnya beda lagi; kalau dia tak bisa meraba-raba, bagaimana bisa jadi pakaian’ ha-ha-ha.. Batasan dokter beda lagi. Kerjanya kan ngutak-ngutik, dan buka-buka aurat, itu, he-he-he.

Saya juga heran, mengapa aurat selalu identik dengan perempuan. Itu tidak benar. Katanya, perempuan bisa merangsang syahwat, karena itu tidak boleh dekat-dekat, tidak patut salaman. Wah’ saya tiap pagi selalu kedatangan tamu. Kadang-kadang gadis-gadis dan ibu-ibu. Itu bisa sampai dua bis. Mereka semua salaman dengan saya. Masak saya langsung terangsang dan ingin ngawinin mereka semua?! Ha-ha-ha.. Oleh karena itu, kita harus hati-hati. Melihat perempuan tidak boleh hanya sebagai objek seksual. Perempuan itu sama dengan laki-laki; sosok makhluk yang utuh. Jangan melihatnya dari satu aspek saja, apalagi cuma aspek seksualnya.


JIL: Sekarang tentang SKB pendirian rumah ibadah. SKB itu sudah disahkan. Bagaimana tanggapan Gus Dur terhadap revisi SKB itu?

Begini, kita harus hati-hati terhadap dua hal yang saling bertentangan. Di satu pihak, ada keinginan mencegah dampak kegiatan beragama yang belum ada aturannya. Karena itu, diperlukan persetujuan dari berbagai pihak soal jumlahnya sekian-sekian (soal quota pengaju pembangunan rumah ibadah, Red). Kedua, soal memberi hak kepada siapapun untuk melakukan ibadah. Di sini terjadi persinggungan.

Tapi persoalan sesungguhnya saya lihat ada pada birokrasi. Selama ini, saya menganggap birokrat-birokrat kita pilih kasih. Permintaan agama A akan disetujui oleh birokrat yang beragama A saja. Kalau begini terus, negara kita akan kacau-balau. Karena itu, sebelum menetapkan suatu keputusan, isu-isu perlu dibicarakan bersama secara serius. Kita tahu sendirilah, Departemen Agama itu adalah departemen yang paling brengsek. Hal lain, pemerintah tidak boleh campur terlalu banyak dalam soal-soal agama, karena itu akan menggiring kita menjadi negara agama.


JIL: Revisi SKB ini muncul dari ribut-ribut soal pendirian rumah ibadah yang konon serampangan?

Pandangan itu muncul dari keadaan yang morat-marit, bukan keadaan yang benar. Memang ada saja orang yang semau-maunya membangun rumah ibadah. Hal itu sebetulnya bersifat teknis dan sumir. Dan soal itu mestinya bisa ditentukan dan dimediasi oleh kepala daerah masing-masing, bukan oleh peraturan. Dan, peraturan yang sudah ada saja yang dijalankan. Kalau ada pelanggaran aturan, bawa ke pengadilan. Jangan diselesaian sendiri-sendiri. Kita ini hidup di negara hukum.

JIL: Kalau diserahkan pada kepala daerah, nanti bisa mirip SK Gubernur Jawa Barat yang tidak adil dong, Gus?

Kalau seperti itu, gubernurnya yang kita tuntut. Jangan peraturannya yang dikorbankan. Masak jadi gubernur kaya gitu?!

JIL: Gus, saat ini marak konflik Sunni-Syiah di Irak. Banyak masjid dibom dan antar muslim saling berseteru. Sebenarnya, bagaimana asal-muasal sejarah konflik Syiah-Sunni?

Konflik itu muncul akibat doktrin agama yang dimanipulasi secara politis. Sejarah mengabarkan pada kita, dulu muncul peristiwa penganiaan terhadap menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya. Keluarga inilah yang disebut Ahlul Bayt, dan mereka memiliki pendukung fanatik. Pendukung atau pengikut di dalam bahasa Arab disebut syi‘ah. Selanjutnya kata syi‘ah ini menjadi sebutan dan identitas bagi pengikut Ali yang pada akhirnya menjadi salah satu firkah teologis dalam Islam. Sedangkan pihak yang menindas Ali dan pengikutnya dikenal dengan sebutan Sunni.

Persoalan sesungguhnya waktu itu adalah tentang perebutan kekuasaan atau persoalan politik. Namun doktrin agama dibawa-bawa. Maka dari itu, janganlah bawa-bawa agama dalam masalah politik. Jadinya akan seperti itu; campur-aduk tidak karuan. Kaum Syiah, tidak terima dengan penindasan itu, dan mereka terus-menerus menyusun kekuatan dan ingin merebut kekuasaan. Dan waktu itu pula, kekuasaan Islam dipimpin oleh pemimpin-pemimpin Sunni yang sangat kejam dan memusuhi Syiah, seperti Khalifah Yazid bin Mu’awiyah di Damaskus. Contoh dari kekejaman dia adalah melakukan pembantaian terhadap Husein bin Ali berserta keluarga dan pengikutnya di Padang Karbala. Bayangkan, padahal Husein adalah cucu Rasulullah dan putra Ali bin Abi Thalib.

Yazid juga mengangkat seorang gubernur Irak yang sangat kejam, namanya Yusuf Hajjaj al-Tsaqafi. Nah, penindasan terhadap kaum Syiah berlangsung selama berabad-abad, dan alasannya lebih karena soal kekuasaan. Salah satu jalan keluar dari konflik ini adalah: jangan bawa-bawa agama dalam persoalan politik. Dan persoalan hubungan Syiah dan Sunni di Irak mestinya dilihat sebagai problem politik, bukan problem agama.


JIL: Jadi konflik itu bisa dianggap konflik politik yang dijubahi agama?

Iya. Menurut saya, klaim teologis tidak bisa jadi klaim politik. Kalau ini disepelekan, akan terjadi seperti yang kita saksikan saat ini. Misalnya, kaum Syiah mengatakan bahwa garis kepemimpinan (politik) hanya ada pada keturunan Nabi. Kalangan Syiah juga menganggap mereka maksum (tidak bisa salah). Di pihak lain, ada pendapat yang berusaha menafikan keturunan nabi, bahkan memusuhi, karena dianggap berpotensi merebut kekuasaan.

Kalau saya sih mudah-mudah saja; berada di antara dua pendapat di atas. Saya cukup menghormati keturunan Nabi. Demikian juga sikap NU; dua pendapat ekstrem itu tidak diikuti. Tegasnya, kami memiliki tradisi mencintai keturunan Nabi, bukan semata-mata karena soal ketertundukan (the degree of obedience) politik. Apakah harus tunduk secara politik pada keturunan Nabi itu menjadi kewajiban agama atau tidak? Kelompok yang menganggap ketundukan itu bagian dari agama disebut Syiah, sementara yang menganggapnya sebagai persoalan sosiologis, disebut Sunni. Nah, dalam Sunni ini ada yang kadar sosiologisnya dalam melihat persolan kuat, dan ada juga yang tidak.


JIL: Kita kembali ke persoalan negeri kita. Sekarang ada kelompok-kelompok yang sangat rajin melakukan tindak kekerasan, ancaman, intimidasi, dan lain-lain terhadap kelompok yang mereka tuding melakukan penodaan atau penyimpangan agama. Gus Dur menanggapinya bagaimana?

Tidak bisa begitu. Cara itu tidak benar dan melanggar ajaran Islam. Tidak bisa melakukan penghakiman dan kekerasan terhadap kelompok lain atas dasar perbedaan keyakinan. Siapa yang tahu hati dan niat orang. Tidak ada itu yang namanya pengadilan terhadap keyakinan. Keyakinan itu soal batin manusia, sementara kita hanya mampu melihat sisi lahirnya. Nabi saja bersabda, nahnu nahkum bil dlaw’hir walL’h yatawalla al-sar’ir (kami hanya melihat sisi lahiriah saja, dan Allah saja yang berhak atas apa yang ada di batin orang, Red). Sejak dulu, kelompok yang suka dengan cara kekerasan itu memang mengklaim diri sedang membela Islam, membela Tuhan. Bagi saya, Tuhan itu tidak perlu dibela!

JIL: Kalau orang muslim tidak melaksanakan syariat Islam seperti salat atau ibadah wajib lain, diapakan, Gus?

Begini ya’ Saya sudah lama mengenalkan beberapa istilah penting dalam melihat persoalan keberagamaan dalam masyarakat kita. Golongan muslim yang taat pada masalah ritual, biasanya kita sebut golongan santri. Namun ada golongan lain yang kurang, bahkan tidak menjalankan ritual agama. Mereka ini biasanya disebut kaum abangan, atau penganut agama Kejawen. Lantas, kita mau menyebut golongan kedua ini kafir? Tidak benar itu!

Saya baru saja yakin bahwa Kejawen itu Islam. Baru setengah tahun ini. Saya baru yakin ketika mendengarkan lagu-lagunya Slamet Gundono (seorang dalang wayang suket kondang, Red). Saya baru paham betul; ooh, begitu toh Kejawen. Inti ajarannya sama saja dengan Islam.

Bedanya ada pada pelaksanaan ritual keagamaan. Kesimpulannya begini:
Kejawen dan Islam itu akidahnya sama, tapi syariatnya berbeda. Penganut Kejawen itu Islam juga, cuma bukan Islam santri. Gitu loh’ selesai, kan? Gitu aja repot.



(Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1028)